Ilustrasi Ngopi Bareng. (Foto: Dok. RM Farhan) |
Ngoser.ID - Jika di masa lalu kopi bisa
disebut sebagai salah satu simbol perdamaian, dewasa ini kopi menjadi semacam
indikator berkembang pesatnya peradaban. Di Sumenep, dahulu, sekitar dekade
’80-an hingga ’90-an, warung-warung kopi setiap habis Subuh selalu ramai. Udara
dingin pagi yang sejuk mulai diwarnai uap hangat kopi hitam berampas. Ditambah
kepulan asap rokok yang bebas memenuhi ruangan kecil sambil sesekali pasrah
diusir semilir angin pagi. Sesekali pula diwarnai deru mobil angkutan dan bau
asap kendaraan yang kurang ramah.
Obrolan demi obrolan keluar bersamaan
dengan kegiatan hisap-sruput. Tak ada obrolan berat di sana. Karena sejatinya
yang ngumpul di kedai atau warung kopi itu untuk melepaskan beban kehidupan,
sehingga diharap bisa menyongsong hari baru dengan semangat baru.
Yang petani melepas lelah hari
kemarin setelah bergumul dengan segala aktivitas tanam-menanam. Abang becak
yang jarang pulang, para buruh dan sekaligus kuli juga menemukan suasana baru
untuk mengumpulkan kembali tenaganya yang hilang. Para pejalan kaki yang kadang
ada juga di antaranya merupakan pegawai negeri rendahan waktu itu, banyak
belajar dari sana akan situasi sosial yang berkembang di luar tumpukan berkas
di meja kantornya.
Semuanya yang hadir di sana relatif
hampir tidak punya tujuan khusus. Sekadar mengikuti ritme gerak hati. Berbagi,
meski sekadar masukan atau nasehat. Tak jarang ada yang mungkin memiliki
kelebihan rejeki, mentraktir teman-teman dadakannya meski sebatas koceng
alias korket cengi hangat.
Nah, era kini, warung-warung kopi
yang sempit di pinggiran jalan tertentu, di kawasan kota Sumenep memang masih
ada. Namun tidak seramai dulu. Kedai-kedai kopi, mulai dari yang agak, semi,
hingga full modern mulai bermunculan. Suasana beda. Lebih elegan, dan nyaman.
Tempat agak luas, hingga bisa sekaligus menggelar diskusi berat, latihan
sebelum pentas, reuni, sambil lalu ditemani alunan musik klasik yang merdu.
Namun apapun itu, istilahnya tetap Ngopi bareng.
Sejatinya, penggemar Ngopi dengan
penggemar kopi, semacam serupa tapi tak sama. Ngopi merupakan kegiatan
menikmati kopi bersama-sama, entah itu satu teko, satu meja, satu hamparan
tikar, bahkan satu gelas dikeroyok. Biasanya untuk yang terakhir sekaligus
mengeroyok pasangannya kopi, yaitu rokok. Namun untuk yang begitu sudah jarang
ditemui, meski tetap ada.
Sementara penggemar kopi ialah
penikmat kopi saja. Tanpa harus bersama-sama (dengan patner, grup, dan lain
sebagainya). Memang lebih romantis tipe kedua ini. Tak ingin diganggu kehadiran
yang lain. Cukup dirinya, dan kopi.
Sehingga penggemar Ngopi otomatis
penggemar kopi. Namun tak semua penggemar kopi ialah penggemar Ngopi. Nenek
saya contohnya. Ibu kedua bagi saya ini merupakan penyuka berat kopi. Dulu,
beliau sejak pagi buta, masih dengan mukenanya biasa menyiapkan kopi bagi diri,
anak dan cucunya. “Minum, biar badan dan pikiranmu segar,” perintahnya,
bertahun-tahun lalu. Hingga sekarang beliau masih tak lepas dari kebiasaan
menyeduh kopi, terutama saat pagi.
Meski begitu, nenek tak pernah Ngopi
selain di rumah. Jadi nenek bukan penggemar Ngopi. Beliau hanya penggemar kopi.
Meski sesekali menemani orang rumah mereguk kopi seduhannya, kala itu.
Namun, penggemar Ngopi kebanyakan
berasal, lahir, dan sekaligus dibesarkan dari dan di lingkungan penggemar kopi.
Seperti saya misalnya. Penggemar kopi sekaligus Ngopi.
Kembali pada poin di awal tulisan.
Dewasa ini kopi menjadi semacam indikator berkembang pesatnya peradaban.
Tempat-tempat ngopi yang bermunculan semakin menggoda. Varian menu dan sarpras
yang lengkap bahkan wow. Ditambah lokasi yang strategis, terkadang
membingungkan untuk pilih Ngopi di mana. Meski kebanyakan tidak ada penggemar
Ngopi yang setia pada satu lokasi Ngopi. Gonta-ganti, selingkuh, biasa terjadi.
Tapi catat: bukan soal lain, soal lokasi Ngopi saja.
Di dekade ini, destinasi bagi
penggemar Ngopi, khususnya di Sumenep mulai bertambah. Ada Kanca Kona, Hom Pim
Pa, Ayoka, Roman, dan Tabularasa. Belum lagi yang tidak bernama. Sehingga
jarang orang kenal. Akibatnya tak sayang. Eh, tak datang, buat Ngopi di sana.
Belum lagi yang meski ada namanya, tapi saya khususnya, belum mendengarnya.
Nah, lokasi-lokasi Ngopi yang disebut
di atas itu juga menyediakan menu pengganjal perut lainnya. Sehingga yang
datang ke sana tak melulu untuk memesan kopi. Kecuali memang varian minumannya
didominasi kopi.
Bicara Ngopi dan kopi sebenarnya
bukan sebuah hal yang luar biasa. Namun bukan tak ada manfaatnya. Karena kalau
iya, berarti sejak awal kata di tulisan ini tak perlu dibaca. Bagi yang kadung,
maka tentu membuang masa. Sia-sia.
Lalu apa di balik ngopi dan kopi yang
setidaknya bisa digarisbawahi?
"Ngopi dan kopi tidak sekadar
urusan rasa, dan selera. Lebih dari itu, bagi saya, aktivitas ngopi meleburkan
karang-karang egoisme. Melelehkan gunung es keakuan," kata Ja'far Shadiq,
salah satu personel Komunitas Ngoser (Ngopi Sejarah) Sumenep. Salah satu
komunitas pemerhati dan pencinta Sejarah di Bumi Jokotole.
Sehingga menurut Papank, panggilan
akrab Ja'far Shadiq, ketika dalam sebuah komunitas, bahkan dalam artian luas
masyarakatnya yang tidak kompak, tidak harmonis, salah satu penyebabnya ialah
dikarenakan "kurangnya Ngopi".
Oleh karena itu, senada dengan
Papank, menurut Hairil Anwar, personel Ngoser lainnya, Ngopi merawat keakraban.
Setidaknya, merehatkan kerenggangan akibat minimnya komunikasi.
"Kesibukan dan aktivitas
sehari-hari yang mengikat sebagian orang setidaknya menemukan jedanya di salah
satunya dalam ruangan Ngopi," kata anggota TACB (Tim Ahli Cagar Budaya)
Sumenep ini.
Tapi benarkah, orang yang tak pernah
Ngopi selalu identik dengan keakuan, egoisme yang tinggi, dan asosial? Mari
temukan jawabannya dengan sambil Ngopi bareng. Tentukan lokasinya, ajak
sekaligus traktir kerabat, teman, dan rekan sejawat. Boleh sekalian ajak saya
dan Komunitas Ngoser.
RM Farhan Muzammily
0 Komentar