Jejak Khalwat di Balik Nama Kasengan

Ilustrasi Diponegoro dari lukisan Basuki Abdullah. Diponegoro merupakan salah satu tokoh yang pernah berkhalwat di Kasengan, Sumenep. (Foto/Istimewa)


Ngoser.ID - Penamaan tempat atau toponimi di Madura banyak yang terkait dengan tokoh-tokoh di zaman lampau. Seperti Desa Kasengan Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep, misalnya.

Desa yang sejatinya lebih dekat jaraknya dengan kawasan kota, dan agak jauh dari pusat kecamatan Manding ini menyimpan banyak cerita bersejarah, yang terkait dengan beberapa tokoh besar Kabupaten setempat. Seperti Pangeran Lor dan Sultan Abdurrahman. Keduanya merupakan penguasa bumi Sumekar di masa kerajaan.

“Kasengan berasal dari ka asengan. Bermakna ke pengasingan atau tempat untuk diasingkan. Dalam hal ini konteksnya mengasingkan diri alias berkhalwat,” kata R. B. Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah muda di Kabupaten Sumenep.

Mengasingkan juga bermakna uzlah, menjalankan laku tirakat dengan menjauhkan diri dari keramaian. Orang biasa menyebut dengan kata lain: bertapa.

“Tokoh yang dikenal pertama kali bertapa di Kasengan itu ialah Pangeran Lor ke-I, Adipati Sumenep setelah ayahnya, Tumenggung Kanduruan,” kata Nurul.

Dari sejak itu daerah atau lokasi pertapaan pangeran Lor dikenal dengan nama Kasengan. Di lokasi pertapaan itu, dahulu, menurut tutur kata para sepuh, ada pohon Nangger yang dikenal dengan nama Nangger Pangongngangan. “Disebut begitu, karena dulu biasa dipakai orang untuk ngongngang atau melihat datangnya awal bulan,” cerita Nurul.

Karena yang bertapa adalah seorang raja, maka Kasengan menjadi tempat khusus yang dijaga oleh orang khusus dari Keraton. Lokasi pertapaan Pangeran Lor itu tepatnya di sebuah gua, yang dikenal dengan gua Kalabangan. “Penjaga gua itu diberi hak memanfaatkan tanah sekitar pertapaan. Sekaligus juga memanfaatkan sarang burung dalam gua,” imbuh Nurul.

Lokasi pertapaan Pangeran Lor ini di masa mendatang juga digunakan oleh Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat. Bahkan, konon, saat Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Sumenep juga sering bertapa di gua kalabangan. “Hingga wafatnya, yang berdasar riwayat sesepuh Keraton. Makanya makam beliau, khususnya oleh keluarga keraton dan masyarakat Sumenep, diyakini berada di kawasan Asta Tinggi,” ungkap Nurul.

Hanya saja, menurut Nurul, gua Kalabangan tersebut hingga saat ini belum bisa dipastikan di mana. "Justru yang cukup dikenal sebagai lokasi khalwat para rato di Sumenep itu, khususnya di sekitar Asta Tinggi ialah Gua Jerru. Jerru merupakan bahasa Madura yang bermakna dalam. Lidah orang justru keliru melafalkannya menjadi Gua Jerruk. Jerruk dalam bahasa Madura adalah nama salah satu buah, yaitu jeruk," jelasnya.

Masalahnya, lokasi Gua Jerru justru berada di kawasan desa Kebunagung, sementara gua Kalabangan yang disebut di atas diyakini masuk wilayah desa Kasengan. Sebenarnya, kedua desa tersebut berdampingan alias berbatasan, meski saat ini masuk di dua kecamatan berbeda. "Kalaupun kedua nama gua itu merujuk pada satu gua, bisa diasumsikan batas-batas wilayah di waktu dulu tidak sama seperti di saat sekarang," tutup Nurul.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar