Kien Bie Seng, dan Jejak Imigran Cina di Sumenep

Batu nisan makam Kien Bie Seng  di Desa Tamedung, Kecamatan Batang-batang, Sumenep. (Foto/Ngoser.ID)


Ngoser.ID - Di sebuah perkampungan yang dikenal dengan pemukiman Radin di Desa Tamedung, Kecamatan Batang-batang, ada sebuah makam kuna yang masih original. Berdasar inkripsi batu nisan, makam itu diidentifikasi sebagai makam Kien Bie Seng. 

Dari namanya, bisa diduga dengan tepat beliau bukanlah orang asli Nusantara, khususnya Madura. Beliau memang warga asing, tepatnya warga berdarah Cina yang hijrah ke belahan timur pulau Garam.

“Menurut keterangan para sesepuh, Kien Bie Seng ini adalah anak Kapitan Kien atau Keng, dari Kerajaan Sriwijaya,” kata Abdul Warits, salah satu peminat sejarah yang berasal dari Tamedung, pada Ngoser.ID.

Meski berdarah Cina, makam Kien Bie Seng menunjukkan ciri khas makam kuna Islam. Prasasti makam juga ditulis menggunakan paduan huruf arab dan carakan.

Warits sendiri menyebut Kien Bie Seng dengan awalan Kiai. “Jadi yang dikenal di sini beliau bernama Kiai Kien Bie Seng atau Bien Seng,” katanya.

Prasasti nisan memang tertulis Kien Bie Seng. Sehingga bisa saja kata Kien lambat laun dilafalkan menjadi Kiai. “Bisa jadi begitu (Kien menjadi Kiai; red),” imbuh Warits.

Warits mengaku tidak memiliki riwayat khusus tentang hal itu. Kemungkinan sebutan kiai pada Kien Bie Seng sebagai gelar ketokohan, yang tidak identik dengan gelar keilmuan di bidang agama. “Meski banyak tokoh-tokoh kiai di bagian timur Sumenep ini yang juga bernasab ke Kiai Kien Bie Seng dan Buju’ Nipa,” ungkapnya.

Selain nama, di batu nisan Kien Bie Seng, tertulis masa hidup beliau hingga akhir hayatnya. Dipadukan dengan keterangan Warits, beliau lahir di tahun 1602, dan wafat di tanggal 20 Shafar 1793 Masehi. Namun mengenai tahun lahir tersebut belum bisa dipastikan sebagai tahun Masehi. Karena Madura juga mengadopsi tarikh Jawa, seperti tahun Saka, yang merupakan paduan Masehi dan Hijriah.

“Juga ada tahun yang memakai sandi dengan huruf hijaiyah, seperti misalnya tahun wawu,” kata pemerhati sejarah di Sumenep, R. B. Nurul Hidayat.

Mengenai kisah hidup Kien Bie Seng tidak ada keterangan tertulis. Riwayat lisan di Tamedung sendiri, menurut keterangan Warits juga sangat minim. Hanya saja, menurut salah satu keterangan, di daerah tersebut juga disebut sebagai lokasi terdamparnya 6 tentara Tartar atau Mongol, yang salah satunya ialah kakek Lau Piango, arsitek Masjid Jami’ dan Keraton di masa Panembahan Sumolo (1762-1811 M).

“Muncul kemudian dugaan Kien Bie Seng ini salah satu dari 6 tentara itu. Namun apakah itu benar masih belum bisa dipastikan,” tambah Warits.

Keturunan Kien Bie Seng lantas berasimilasi dengan penduduk pribumi. Kemudian menyebar di bagian pesisir Sumenep atau pantura hingga Pasongsongan. Sementara yang ada di Tamedung, salah satu keturunan Kiai Bein Seing ada yang diperisteri salah satu ulama di sana, tokoh yang diyakini sebagai waliyullah di Sumenep, yaitu Buju’ Nipa.

“Keturunan beliau rata-rata dahulu dipanggil Radin atau Raden, karena konon Buju’ Nipa masih ada hubungan darah dengan keluarga keraton,” tutup Warits.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar