Pasarean Kiai Sawunggaling bersama Istri di Asta Tinggi
Sumenep. (Foto/Ngoser.ID) |
Ngoser.ID - Sebuah bangunan pendapa di komplek Asta Tinggi, pemakaman
Raja-raja Sumenep, itu masih berdiri kokoh. Pendapa tersebut berasal dari abad
18. Di salah satu tiangnya terdapat bekas sabetan senjata tajam yang cukup
dalam untuk ukuran benda jenis kayu yang cukup bagus dan kuat. Sekira lebih kurang
5-7 cm dalamnya.
Sejatinya pendapa yang terletak di komplek menuju Asta
para penguasa Sumenep sebelum awal abad 19 itu adalah pendapa pindahan dari
keraton di Pajagalan. Pendapa itu merupakan pendapa di masa pemerintahan Ratu
Tirtanegara dan suaminya, Bindara Saot (1750-1762 M).
“Pendapa dipindah di masa Panembahan Sumolo. Kemungkinan
pada saat pembangunan keraton baru,” kata R. B. Ruska, Kepala Penjaga Asta
Tinggi, pada Ngoser.ID.
Tidak dijelaskan kenapa pendapa itu dipindah. Yang jelas,
pendapa itu menjadi saksi bisu peristiwa berdarah di masa-masa awal naiknya
Bindara Saot ke singgasana Keraton Sumenep. Pendapa itu juga menjadi saksi
keberanian seorang pengawal Raja bernama Kiai Sawunggaling, yang bersedia
menjadi pengganti raja menghadapi serangan maut dari Patih Raden Purwanegara di
tahun 1750 M.
Beralihnya tahta Sumenep ke tangan Bindara Saot yang
notabene dari luar keluarga keraton membuat sang Patih, sekaligus saudara
sepupu Ratu Tirtonegoro meradang. Pasalnya, Purwonegoro jatuh cinta pada sang
Ratu, namun tak berbalas. Sejak menjanda pasca meninggalnya sang suami pertama,
Ratu Rasmana, nama lain Ratu Tirtanegara, memang banyak yang melamar. Namun,
tak satu pun yang diterima.
Isyarat langit kepada Ratu, membuat pilihan bersuami lagi
jatuh pada sosok Bindara Saot. Seorang guru ngaji di Lembung, Lenteng. Putra
Kiai Agung Abdullah di Batuampar.
Sejak Ratu menikah dengan Bindara Saot, sang Patih
membelot. Ia tak lagi mengindahkan tugas-tugasnya. Sekaligus tidak pernah lagi
menghadap ke keraton. Tak hanya itu, panggilan Raja kepadanya dibalas dengan
tantangan terbuka yang ditujukan kepada Bindara Saot yang diejeknya dengan
sebutan Orang Gunung.
Mendengar tantangan tersebut, Bindara Saot menyatakan
menerima perang tanding satu lawan satu. Namun Ratu Tirtonegoro mencegahnya.
Beliau menawarkan tugas menghukum Purwonegoro kenapa abdi dalemnya. Saat itulah
berdiri Kiai Sawunggaling dan Kiai Singotruno. Sawunggaling merupakan prajurit,
dan Singotruno seorang menteri.
Keduanya lantas menyusun siasat. Sawunggaling dihias
dengan busana Raja. Dan Singotruno berpakaian pengawal biasa berdiri di samping
“raja” yang tengah duduk di pendapa.
Mendengar “raja” tengah sendirian di pendapa dan hanya
ditemani seorang pengawal biasa, Purwonegoro yang diselimuti amarah menuju
keraton dengan pedang terhunus.
Dengan gerakan cepat dan tenaga yang difokuskan untuk
membunuh, ia mengayunkan pedangnya ke tubuh Sawunggaling dari arah belakang. Saat
itulah insting prajurit pada diri Sawunggaling bekerja. Meski diserang dari
belakang, Sawunggaling bisa mengelak dengan lihai. Pedangpun hanya menghantam
tiang pendapa, dan tak bisa dicabut.
Sejurus kemudian, Sawunggaling yang langsung menghunus
kerisnya menusukkan senjata tersebut ke tubuh Purwonegoro. Bersamaan dengan
ujung tombak Kiai Singotruno yang juga diarahkan ke Patih pembangkang tersebut.
Purwonegoro roboh, dan menghembuskan nafas terakhirnya di pendapa keraton.
Atas jasanya, Sawunggaling diangkat menjadi menteri, dan
Singotruno diangkat menjadi Patih menggantikan Purwonegoro.
Asal-usul Kiai Sawunggaling hingga saat ini masih belum
diketahui secara jelas. Menurut satu riwayat tutur, beliau bersaudara dengan
Kiai Singotruno. Sedang Kiai Singotruno merupakan putra Kiai Rombu di Gapura,
masih cucu Kiai Khatib Pranggan bin Pangeran Katandur.
Pasarean Kiai Sawunggaling berada kawasan luar komplek
utama Asta Tinggi. Berdampingan dengan istrinya, tanpa cungkup dan sangat
sederhana.
Akses menuju Asta Sawunggaling tidak mudah. Jalan berbatu
dan semak belukar yang menutupi jurang-jurang mirip goa. Letaknya di sebelah
barat Pasarean Ibunda Pangeran Le’nan yang dikenal dengan cungkup uniknya. Jika
dari jalan raya sekitar kurang lebih 200 meter ke arah barat.
SP/Ng
0 Komentar