Fort Soemenep, dan Jejak Perlawanan Masyarakat Pulau Garam di Era Kolonial

Potret Fort Soemenep atau Benteng Kalimo'ok di Desa Kalimo'ok, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep Madura pada tahun 1920an. (Koleksi Sumenep Tempo Dulu)

Ngoser.ID - Perjanjian yang dilakukan VOC dengan Pakubowono I Raja Mataram tahun 1705, dengan memasukkan dua wilayah di bagian Madura timur ke dalam kuasa VOC, memberikan dampak yang cukup besar bagi Sumenep di kemudian hari.

Para Bupati dari dua wilayah ini diwajibkan untuk senantiasa mengadakan kontrak-kontrak dalam kurun waktu tertentu. Kontrak yang dibuat cukup beragam, mulai dari penyediaan bahan pokok hingga menyediakan ribuan orang untuk kepentingan pertanahan VOC.

Tak mengherankan juga jika di kemudian hari, pada tahun setelahnya, Pemerintahan VOC memerintahkan pembangunan Benteng di Sumenep.

Fort Soemenep atau lebih dikenal dengan sebutan benteng Kalimook dibangun pada tahun 1785. Benteng yang hampir sebagian besar kontruksinya terbuat dari susunan batu kapur tersebut terletak sekitar 7 km di sebelah tenggara ibu kota Sumenep, atau sekitar 200 meter sebelah utara muara sungai Marengan. Yaitu sungai yang cukup ramai pada masanya, karena merupakan jalur keluar masuk menuju pusat Kota.

Robert Van Hoevel seorang menteri yang juga politikus di Hindia Belanda yang pernah melakukan kunjungannya ke Sumenep tahun 1846, menggambarkan secara sekilas suasana lingkungan Benteng ini.

Dalam catatannya yang berjudul Reis Over Java Madoera en Bali, dituliskan bahwa benteng ini mulanya nyaris dibangun di pinggir pantai. Hanya saja, rencana pembangunan tersebut gagal dan pada akhirnya dipilihlah sebuah lokasi yang cukup jauh dari pesisir dan juga permukiman masyarakat saat itu.

Lokasi yang baru ini berada di desa Kalimook. Benteng dibangun di atas tanah yang cukup tinggi dan memungkinkan untuk melihat kondisi pesisir dan muara sungai Marengan dari jarak yang cukup jauh.

(Koleksi Sumenep Tempo Dulu)

Lokasi ini digadang-gadang merupakan tempat yang paling baik meskipun pada akhirnya keyakinan ini dipatahkan oleh kejadian berdarah pada tahun 1811; di mana pada saat itu, serdadu Inggris berhasil mengambil alih bangunan tempat para serdadu Belanda berlindung diri.

Benteng Sumenep bisa dapat dikategorikan sebagai benteng yang cukup kecil dibandingkan benteng-benteng lainnya di daerah Jawa. Luasnya yang tak kurang dari 2 ha tersebut, dihuni oleh 25-30 Serdadu Eropa.

Minimnya jumlah serdadu yang ditugaskan di Benteng ini berdampak pula pada jumlah bangunan yang dibangun di dalamnya. Benteng Sumenep hanya memilik 4 buah bangunan sebagaimana yang bisa kita lihat pada peta Sumenep tahun 1883, dan juga beberapa foto tinggalan Badan Arkeologi Kolonial tahun 1920an.

Keberadaaan bangunan ini juga didukung dengan temuan struktur yang dilakukan oleh Balai Arkelogi Jogjakarta yang melakukan eskavasi dari tahun 2003-2006 silam.

Di dalam peta dan foto tersebut, nampak bangunan-bangunan di dalam tembok benteng disusun saling berhadapan satu dengan yang lainnya, hingga menyisakan sebuah ruang terbuka pada bagian tengahnya.

Sejauh ini belum diketahui secara pasti fungsi dari keempat bangunan tersebut. Ada kemungkinan, bangunan yang telah lenyap tersebut, merupakan bangunan barak meliter dan kantor.

Benteng ini hampir sebagian besar dibangun dengan menggunakan material bata putih dengan ketebalan yang cukup variatif, kira-kira 50 cm. Benteng Sumenep ini juga dilengkap oleh bastion, yang mana semua bastion dilengkapi dengan meriam dengan masing masing berbobot 8 pon.

(Koleksi Sumenep Tempo Dulu)

Benteng Sumenep merupakan pos pertahanan yang sebenarnya tidak terlalu diperhitungkan keberadaannya oleh Pemerintah Kolonial. Sebagaimana sebuah laporan yang ditulis dalam laporan berjudul pos-pos pertahanan di Hindia Belanda yang diterbitkan pada tahun 1864.

Kesetiaan pemerintah lokal dengan pemerintah Kolonial dalam menjaga kondusifitas di berbagai wilayah, tidak sepatutnya pemerintah Kolonial membangun benteng di Sumenep. Berbeda dengan wilayah lainnya yang selalu mengadakan pengkhianatan-pengkhianatan kepada pemerintah saat itu.

Meski demikian, dalam beberapa laporan, benteng ini tetap dijaga dan dirawat dengan baik. Tahun 1813, Pemerintahan Inggris, melalui R. C. Gamham, mendiang Komandan Pasukan di Sumenep diberikan sejumlah uang oleh Deputi Keuangan Bidang Meliter, sejumlah enam ratus tiga belas Dolar Spanyol dan dua Stivers, untuk perbaikan bangunan Benteng. Dan pada tahun 1863 Benteng ini kembali diberikan dana perawatan sebesar 150 Gulden oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

Benteng Sumenep mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang pada masanya, bukan hanya menjadi saksi pertempuran perebutan kekuasaan antara pemerintah Inggris dan Belanda, namun juga menjadi saksi dari dari keberingasan pemerintah kolonial dalam memberangus anak turunan pahlawan nasional Pangeran Diponegoro.

Mengutip isi dari sebuah laporan kolonial yang diterbitkan tahun 1853, salah satu anak Pangeran Diponegoro ditangkap dan ditahan di Benteng Sumenep atas tuduhan keterlibatannya.

Faiq Nur Fikri/Ng

Posting Komentar

0 Komentar