Kisah Raja Sumenep Berguru Pada Segoromadu Cirebon

 

Ilustrasi. Lukisan Masjid Banten oleh Josias Cornelis Rappard. Banten merupakan wilayah yang serumpun dengan Cirebon yang bersusur galur pada salah satu tokoh Wali Sanga di Gunungjati. (Sumber foto: Collectie Tropenmuseum)

Ngoser.ID – Ketika bicara tentang tokoh-tokoh besar, maka ada banyak sosok-sosok berjasa di balik lembar sejarah kebesarannya. Salah satu sosok yang dianggap paling berjasa ialah guru. Namun, nama sang guru kadangkala memang tak setenar sang murid. Sehingga kadang, tak banyak dibincang dan bahkan dikenang.

Kiai Cirebon salah satu contohnya. Sejarah mengakui bahwa sosok yang belum diketahui pasti asal-usulnya secara lengkap ini, adalah guru dari tokoh agung Sumenep di abad 17. Sang murid dikenal sebagai peletak dasar tatakrama, adab bersikap sopan santun, tangga bahasa (ondhagga basa), yang hingga berabad-abad setelahnya menjadi acuan.

Sehingga sepeninggal sang murid ini, bagi mereka—khususnya warga Sumenep—yang tak tahu etika dan tatakrama dianggap “ta’ kennal Judhanagara” (tidak mengenal Yudanegara). Judhanagara atau Yudanegara ini merupakan salah satu penguasa Madura dari Dinasti Kanduruan. Menurut sumber Sumenep, Yudanegara memerintah pada 1648-1672 Masehi.

Kembali pada Kiai Cirebon, disebut-sebut dalam catatan Babad Songennep. Beliau sesuai namanya, memang berasal dari Cirebon, Jawa Barat kini. Kiai Cirebon merupakan sebutan tokoh yang berlaqob atau bernisbat pada tempat. Kiai Cirebon secara sederhana bermakna kiai atau tokoh agama yang berasal dari Cirebon. Menurut Kartasoedirja dalam Tjareta Nagara Songennep, nama asli beliau ialah Kiai Segoromadu. Namun diduga nama ini juga merupakan gelar beliau yang lainnya.

Babad tak pernah menyebut secara terperinci tentang asal-usul sang kiai. Namun dalam peristiwa invasi Mataram atas Madura, yang salah satu efeknya menyebabkan kekuasaan Sumenep jatuh dalam bayang-bayang Mataram, Raden Bugan—sang pewaris tahta Sumenep—berhasil selamat dan diungsikan ke Cirebon.

Di sana, Bugan—yang kelak bernama Pangeran Yudanegara (catatan lain menulis Tumenggung Yudanegara), diasuh, dibesarkan, dan ditempa menjadi sosok mumpuni. Tanpa harus ditebak, tokoh yang mengasuh, membesarkan, dan menempanya secara khusus ialah Kiai Cirebon.

Singkat cerita, setelah Bugan kembali mendapatkan hak warisnya dan sekaligus menjadi adipati di Sumenep, sang guru dibawa serta. Rupanya ada keterikatan kuat sehingga sang guru menyertai sang murid sampai ke negeri seberang dan paling ujung dari nusa garam.

Setelah di Sumenep, tak banyak dibincang tentang sosok sang guru. Kiai Cirebon hanya diceritakan menetap di kawasan Kepanjin (saat ini merupakan nama salah satu kelurahan di kawasan Kecamatan Kota. Kediamannya tidak jauh dari kawasan Rumah Panggung peninggalan Patih Ronggodiboso (Raden Entol Anom alias Onggodiwongso).

“Bekas rumah Kiai Cirebon sudah menjadi bangunan lain saat ini,” kata Iik Guno Sasmito, salah satu anggota keluarga Rumah Panggung Ronggodiboso Kepanjin, beberapa waktu lalu.

Di Kepanjin, Kiai Cirebon menjadi guru agama. Kemungkinan beliau juga berperan dalam urusan keagamaan keraton di masa Yudanegara.

“Menurut cerita tutur, beliau bersama Raden Onggodiwongso, sama-sama tokoh alim dan menjadi jujukan para santri dan masyarakat Sumenep di masanya,” jelas Iik.

Ketika ditanya soal asal-usul Kiai Cirebon, Iik mengaku tidak memiliki referensi. Menurutnya, tidak ada riwayat di antara sesepuh Rumah Panggung.

“Dalam catatan-catatan silsilah keluarga Rumah Panggung juga tidak pernah disinggung tentang Kiai Cirebon. Sehingga tidak diketahui beliau berasal dari keluarga mana di Cirebon. Termasuk juga apakah ada hubungan kekerabatan dengan keluarga Keraton Sumenep di masa Yudanegara,” tambah Iik.

Dugaan sementara, Kiai Cirebon masih merupakan kerabat Keraton Cirebon. Sehingga dengan keluarga Yudanegara masih ada hubungan darah. Leluhur Yudanegara, Tumenggung Kanduruan, adalah anak Sultan Demak pertama. Sementara sesepuh Keraton Cirebon ada yang menjadi menantu Sultan Demak.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar