Mutiara Kate, Jejak Kakek Arsitek Masjid Jami’ Sumenep

Litografi karya Auguste van Pers tahun 1854. Tampak seorang pedagang Tionghoa dengan warga pribumi (Sumber: wikiwand.com)

Ngoser.ID - Abad 18, di pertengahannya, bisa jadi menjadi abad terburuk dalam sepanjang sejarah perantauan bangsa kulit kuning ke Nusantara. Sebuah peristiwa dalam sejarah yang penuh dengan noda darah terjadi. Diperkirakan bahwa lebih dari 10 ribu orang keturunan Tionghoa dibantai. Jumlah orang yang selamat tidak pasti. Terdapat dugaan sekitar 600 sampai 3 ribu yang selamat.

Dalam data lain, 10 ribu orang Cina tewas, dan 500 orang lainnya luka berat, juga lebih dari 700 rumah warga Tionghoa dijarah dan dibakar baik oleh serdadu VOC maupun kaum pribumi (W.R. van Hoevell, Batavia in 1740, 1840:447-557).

Peristiwa yang selanjutnya dikenal dengan Geger Pecinan itu merupakan sejarah kelam bentrok VOC dengan warga Cina di Batavia. Dipicu oleh tindakan VOC untuk membersihkan imigran Cina dengan cara mengurangi populasinya.

Adalah Adriaan Valckenier, Gubernur Jenderal VOC kala itu yang memberlakukan kebijakan keras untuk mengurangi populasi etnis Cina di Batavia, yang saat itu dianggap sudah terlalu banyak.

Dalam South East Asia, Colonial History: Imperialism Before 1800, 2001:122, Paul H. Kratoska menyebut Valckenier mengirim orang-orang Cina dari Batavia ke wilayah koloni Belanda lainnya, termasuk Sri Lanka atau ke Afrika.

Fakta itu membuat warga Cina melawan. Pengiriman itu diresahkan sebab adanya rumor mengerikan, bahwa orang-orang Cina yang dikirim ke Sri Lanka atau Afrika Selatan dengan kapal itu dilemparkan ke laut sebelum tiba di tempat tujuan.

Puncaknya, pecahlah perlawanan kaum Tionghoa itu. Mereka berkumpul, mempersenjatai diri, dan mulai menyerang unit-unit penting, termasuk pabrik-pabrik gula.

Tahun 1740 di bulan sembilan, situasi bertambah panas karena gerakan perlawanan yang semakin kerap. Salah satunya adalah insiden di Meester Cornelis (Jatinegara saat ini) dan Tanah Abang. Orang-orang Cina membunuh 50 serdadu Belanda yang membuat Valckenier murka dan mengirimkan 1.800 tentara untuk membalasnya.

Sempat tidak disetujui oleh Gustav Willem Baron van Imhoff selaku Ketua Dewan Hindia, namun justru diijinkan karena ancaman Cina mulai tampak kala itu. Mulailah pembantaian keji tanpa pandang siapa, yang penting Cina.

Warga pribumi mulai terlibat saat muncul isu bahwa orang-orang Cina berencana memperkosa perempuan lokal, membunuh para lelakinya, atau menjadikannya sebagai budak. Kesempatan yang dimanfaatkan oleh Valckenier dalam bersih-bersihnya. Batavia banjir darah.

Namun perlawanan Cina sekaligus pembantaian terhadap mereka pun meluas hingga ke Jawa.

Masuk Madura Lewat Pantai Utara

Peristiwa mengerikan itu membuat banyak imigran Cina mencari lokasi aman untuk sembunyi. Salah satunya lokasi yang dipandang aman ialah Madura.

Di Sumenep, dalam sejarah lisan, imigran asing itu menyusup ke nusa garam melalui perairan Dungkek. Mereka lantas berpencar mencari aman. Namun karena di Sumenep lebih terbuka terhadap segala macam perbedaan termasuk suku, ras, dan agama, maka pelarian dari Batavia seakan menemukan surga.

Adalah Lauw Kate, seorang pria paruh baya bersama isteri dan seorang cucu lelakinya. Tiga orang di antara puluhan bahkan ratusan warga Cina yang masuk ke Madura lewat pantai utara.

Kate seorang arsitek. Ia ahli di bidang bangunan. Keahlian yang kelak turun kepada cucu semata wayangnya. Cucu yang kala itu menjadi yatim piatu setelah kedua orang tuanya ikut “dibersihkan”.

Mutiara Yang Terselamatkan

Bukan tanpa perjuangan Lauw Kate membawa isteri dan cucunya sampai ke pelabuhan Dungkek. Meski begitu, ia tetap pasrah.

Dari kabar burung, ia mendengar terdapat warga Cina di sepanjang pesisir utara Sumenep. Mereka hidup tenteram. Meski sudah banyak yang tidak seagama dengannya. Kate memeluk Konghucu. Sementara warga Cina pesisir utara sudah ada yang muslim.

Kendati begitu efek peristiwa Batavia sempat membuat was-was semua warga Cina, tak terkecuali di Sumenep. Ditambah dengan datangnya pelarian dari Batavia ke Sumenep.

Kate kemudian memilih tidak tinggal di pesisir. Ia lantas masuk kawasan kota, karena banyak mendengar kisah keramahan penduduk di sana. Iapun menetap di Kepanjin, dekat dengan keraton.

Kabar keramahan itu ternyata bukan isapan jempol. Bahkan takdir membawanya ke hadapan raja legendaris Sumenep, Bindara Saot yang humanis. Kala itu ia tanpa sengaja mempersembahkan “mutiara” kepada sang Nata. Mutiara itu berupa Lauw Piango kecil. Cucunya sendiri. Yang kelak dimutiarakan oleh raja agung selanjutnya, Panembahan Sumolo.

(Tulisan ini pernah dimuat di matamaduranews.com pada tanggal 8 Januari 2020)

MM/Ng

Posting Komentar

0 Komentar