Hingga Kini Belum Wafat, Kisah Nyai Agung Waru dari Abad 18

 

Potret suasana Waru, Pamekasan, Madura di tahun 1940. (Sumber: Koleksi Tropen Museum)

Ngoser.ID - Ketika bicara soal tokoh-tokoh pembabat bumi Waru, Pamekasan, maka tidak akan bisa dipisahkan dari sosok Nyai Agung Waru.

Ibunda dari kiai-kiai besar Pamekasan yang diperkirakan sejak abad 18 ini hingga sekarang menjadi buah bibir, khususnya di kawasan Waru, dan anak cucunya.

Pasalnya, Nyai Agung dikisahkan masih hidup hingga sekarang. Beliau diyakini berusia panjang dan masih belum wafat. Namun keberadaannya hingga kini masih misteri.

Keturunan Para Raja

Sebutan nyai di depan namanya, umumnya menandakan dirinya sebagai sosok ulama dari kalangan perempuan. Namun jika ditarik ke atas, secara genealogi, Nyai Agung merupakan keturunan bangsawan utama di nusa Garam.

Dalam naskah-naskah silsilah yang berada di Pamekasan-Sumenep, Nyai Agung tercatat sebagai putri satu-satunya dari penguasa di kawasan Waru, yaitu Raden Entol Janingrat.

Entol Janingrat memiliki dua saudara laki-laki, yaitu Raden Entol Bagus, dan Raden Entol Anom. Entol Bagus tercatat sebagai Jaksa Keraton Sumenep. Sementara Entol Anom merupakan Kuasa wilayah Sumenep atau yang dikenal dengan pangkat Ronggo. Dalam catatan lain beliau disebut sebagai Patih Sumenep.

Era Entol Anom, berdasar riwayat dan catatan keluarga Rumah Panggung Kepanjin Sumenep, sekitar abad 17. Beliau dikenal dengan nama lainnya yaitu Raden Onggodiwongso. Di kawasan Rumah Panggung dikenal juga dengan nama Ranggadibasa.

“Malah menurut riwayat sesepuh Rumah Panggung, beliau disebut Panembahan Ronggo. Namun kemungkinan itu sebutan kehormatan saja, karena beliau tidak tercatat sebagai salah satu raja atau adipati di Sumenep,” kata Iik Guno Sasmito, salah satu anggota keluarga Rumah Panggung, yang melestarikan situs Ranggadibasa di Kepanjin.

Raden Entol Anom menurunkan para pembesar keraton Sumenep sejak abad 18 hingga 20. Di antaranya Raden Demang Wongsonegoro, Raden Atmologo (Kromosure), Raden Tumenggung Rangga Kertabasa Pratalikrama, Raden Wongsokusumo, dan lainnya.

Tokoh cendekia Sumenep, dan penulis buku Babad Sumenep, Raden Werdisastro juga merupakan keturunan langsung Raden Entol Anom.

Kembali pada Entol Janingrat bersaudara itu, ketiganya tercatat sebagai putra Raden Sutojoyo.

Sutojoyo dikenal sebagai tokoh yang disegani, ditakuti, dan dihormati di Sumenep-Pamekasan.

Ayah Sutojoyo adalah Pangeran Macan Alas Waru. Pembabat bumi Waru, yang menurunkan tokoh-tokoh ulama dan umara di Pamekasan hingga tapal kuda.

Pangeran Macan Alas adalah anak Pangeran Sosrodipuro, Sawah Pele (Saba Pele), Sampang. Dikenal dengan sebutan Pangeran Saba Pele atau Panembahan Sampang.

Dalam naskah keluarga Rumah Panggung, dan catatan RB Mahfudh Wongsoleksono, Pangeran Saba Pele adalah putra Raden Adipati Pramono alias Pangeran Bonorogo, Raja Sampang sekaligus Pamekasan.

Pangeran Saba Pele tercatat sebagai adik Panembahan Ronggosukowati, Pamekasan. Tokoh ini identik dengan Pangeran Adipati Pamadekan, atau Pangeran Langgar.

Dalam catatan Jawa, Pangeran Langgar disebut sebagai salah satu menantu Sultan Trenggana, Demak.

Menghilang dan Berusia Panjang

Nyai Agung dalam riwayat dan naskah-naskah silsilah kiai-kiai Pamekasan, dikenal dengan nama lainnya, Nyai Hawara.

Beliau menikah dengan Kiai Agung Waru alias Agung Bayan alias Kiai Waru I.

Kiai Agung adalah anak Kiai Hakimuddin, di Teja Pamekasan. Kiai Hakimuddin juga tercatat memiliki anak Kiai Modin Teja Pamekasan, yaitu mertua Kiai Agung Raba di Pademawu Pamekasan, dan Kiai Khatib Bangil di Prongpong Sumenep.

Dari pernikahan dengan Kiai Agung Waru, lahir beberapa putra-putri. Di antaranya Kiai Bayan (Kiai Waru II), Kiai Pakes, Kiai Fata (Bindara Fata, Kodas Ambunten), Nyai Ummi Sajid (leluhur kiai-kiai Banyuanyar dan Bata-bata), dan lainnya.

Di Asta Waru, yang hingga kini ramai diziarahi banyak orang, tidak ditemukan pasarean Nyai Agung. Menurut kisah masyhur, Nyai Agung memang masih belum wafat. Namun keberadaannya hingga kini masih misteri.

“Sudah menjadi keyakinan warga Waru, dan keturunan Nyai Agung, bahwa beliau memang masih belum wafat,” kata Bindara Badri, salah satu keturunan Nyai Agung di Pakong, Pamekasan.

Senada dengan Badri, Kiai Yaqin di Pasean juga meriwayatkan kisah serupa. Bahkan, di kalangan sesepuh, Nyai Agung kerap kali datang dan menampakkan diri. “Jadi ini sudah sifatnya mutawatir. Wa Allahu a’lam,” kata Yaqin.

Meski para peziarah dan keturunannya tidak mendapati bukti makam maupun keberadaan fisik Nyai Agung seperti dikisahkan di muka, namun nama besarnya senantiasa disebut dalam rangkaian do’a dan tawasul, saat ziarah ke Asta Waru.

“Kisahnya juga terus diceritakan hingga sekarang,” tambah Yaqin.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar