Karomah Auliya’, Saat Waktu di Madura Berhenti Berputar

 

Kolase pasarean Panembahan Siding Kamal di Aermata Arosbaya Bangkalan (kiri), dan Kiai Bedduk di Ambunten Sumenep. (Foto/Ngoser)

Ngoser.ID – Karomah merupakan kejadian luar biasa yang menjadi salah satu tanda kewaliyan seseorang. Merupakan anugerah Sang Kuasa pada para kekasihNya. Anugerah ini bersifat khusus, karena tidak bisa dipelajari seperti kejadian luar biasa yang misalnya dikenal dengan kesaktian, sihir, kanuragan dan sejenisnya.

Kisah-kisah karomah para wali sejak dahulu kala banyak diceritakan dari berbagai penjuru dunia. Setiap zaman, auliya’ kata jamak wali itu selalu ada sesuai tingkatannya.

Di pulau garam, kisah-kisah para wali senantiasa menjadi pelajaran dan teladan dari masa ke masa. Dalam kisah-kisah tersebut, tak jarang juga diceritakan karomah-karomahnya. Seperti yang ditulis di edisi ini, yakni tentang karomah dua tokoh yang diyakini sebagai waliyullah.

Karomah yang diceritakan di sini merupakan sebagian kecil dari karomah keduanya. Kisah karomah keduanya ini ada kemiripan. Dua tokoh yang sejatinya beda masa dan tempat. Yang satu berada di belahan barat nusa Madura. Dan yang kedua berada di ujung timur bumi Raden Sagara ini.

Panembahan Siding Kamal

Di Madura Barat, nama Panembahan Siding Kamal begitu populer. Raja yang bertahta di Tonjung Sekar itu bernama asli Raden Undakan (memerintah 1647-1707 M). Beliau adalah putra kedua Raden Praseno Pangeran Cakraningrat I (Siding Imagiri) dengan Rato Ebu Syarifah Ambami. Putra tertua, Raden Ario Atmojonegoro wafat di Mataram bersama ayahnya. Keduanya dimakamkan di Imogiri, di dekat makam Sultan Agung.

Setelah ayahnya mangkat, Raden Undakan dinobatkan sebagai penguasa Madura Barat dengan gelar Panembahan Cakraningrat II. Di masa itu terjadi pemberontakan Pangeran Trunojoyo, yang notabene adalah putra dari saudara laki-laki Cakraningrat II, yaitu Raden Demang Mloyokusumo.

Kala itu Mataram sekaligus Madura jatuh ke tangan Trunojoyo yang selanjutnya bergelar Panembahan Maduratno. Bahkan Cakraningrat II sempat ditawan.

Ada kisah keramat yang hingga kini diriwayatkan turun-temurun, yaitu saat Cakraningrat II ditawan di alas Ladoyo, Blitar. Salah seorang waliyullah di Sampang, sekaligus sahabat Cakraningrat II biasa berkunjung tanpa diketahui siapapun. Sang Wali yang bernama Kiai Napo itu senantiasa membawa hidangan dan membakar sesuatu agar Sang Nata tidak digigit nyamuk.

Setelah pemberontakan Trunojoyo berakhir, Cakraningrat II memindahkan pusat pemerintahan yang semula di Madegan Sampang ke wilayah Tonjung (sekarang masuk Bangkalan). Beliau ini dikenal sebagai tokoh yang kharismatik dan berwibawa, serta dikaruniai karomah. Beliau juga dikenal dekat dengan para ulama.

Kisah wafatnya Panembahan Cakraningrat II ini juga terus diceritakan hingga saat ini. Waktu itu, beliau baru pulang dari Mataram. Sesampainya di Kamal, beliau jatuh sakit dan terus meninggal. Waktu meninggalnya beliau itu sore hari sekitar pukul 16.30. Saat itu juga jenazah beliau dibawa ke Aermata untuk dikebumikan dekat ibunya.

Perjalanan Kamal-Arosbaya yang ditempuh dengan berjalan kaki itu tentu memakan waktu yang tidak sebentar. Apalagi alat transportasi juga masih manual. Namun hingga sampai Arosbaya yang mungkin bisa menghabiskan waktu setengah hari itu, hingga prosesi penguburan selesai, Matahari seakan tidak bergeser dari tempatnya. Setelah beliau selesai dimakamkan baru Matahari tenggelam perlahan dan langsung terbit saat itu juga dari arah timur. Seakan hari itu tidak melewati waktu malam.

Kiai Bedduk, Ambunten

Di wilayah Ambunten, Sumenep, pada umumnya, nama sang Kiai Penghulu Mardikan Ambunten pertama alias Kiai Bedduk begitu masyhur. Masyarakat umum mengenal beliau sebagai tokoh waliyullah yang begitu keramat.

Berdasar catatan silsilah, Kiai Bedduk adalah salah satu putra Kiai Ali Akbar di Pasongsongan. Nasabnya bersusur galur pada Kiai Talang Prongpong, Kecer, Dasuk. Ayah Kiai Ali Akbar, yaitu Kiai Khalid alias Kiai Takong, Dasuk. Kiai Takong bersaudara dengan Kiai Khatib Bangel dan Kiai Abdul Qidam, leluhur Bindara Saot, Raja Sumenep (memerintah 1750-1762 M).

“Kiai Bedduk seorang ulama besar sekaligus waliyullah besar di masanya. Kisah turun-temurun begitu,” kata Nyai Hj. Munifah, salah satu keturunan Kiai Bedduk di Ambunten Timur.

Kisah-kisah yang biasa terjadi pada kekasih Allah, atau di luar kebiasaan, juga tersemat pada pribadi Kiai Bedduk. Salah satunya mengenai sebutan Bedduk pada panggilan beliau.

Bedduk dalam bahasa Madura berarti waktu masuknya shalat Dhuhur. Berasal dari bunyi beduk masjid, yang umumnya ditabuh di waktu siang menjelang adzan Dhuhur.

Menurut yang dikisahkan R. Abubakar, salah satu keturunan Kiai Bedduk lainnya, sang Kiai yang bernama Abdul Hamid tersebut memang tinggal di Ambunten. Sewaktu kecil beliau dikirim ayahnya mondok ke Jawa Barat.

Sesampainya di sana, Kiai Abdul Hamid oleh gurunya ditempatkan di sebuah bilik kecil. Bilik itu lantas dikunci oleh sang guru. Konon, hingga setahun lamanya.

“Setelah setahun sang guru baru ingat jika telah mengunci santri barunya. Cemas, guru tersebut lekas ke lokasi bilik. Dalam pikirannya tentu sang murid sudah mati kelaparan dan kehausan,” kata Abubakar.

Betapa terkejutnya sang guru menyaksikan pemandangan di depan matanya. Kiai Abdul Hamid kecil tampak menulis atau menyusun kitab yang merupakan intisari dari kegiatan belajar mengajar di pesantren tersebut.

Tahu bahwa sang murid bukan orang biasa, sang guru lantas “mengusirnya”. Kiai Abdul Hamid disuruh pulang karena sudah alim.

Kiai Abdul Hamid kecil kebingungan. Tak tahu arah jalan pulang. Langkah kakinya membawa ke pesisir pantai yang teduh namun sepi dari perkampungan.

Saat itulah datang seekor ikan besar. Orang Madura menyebutnya Mondung. Sejenis hiu. Ikan itu berbicara dan siap membawa Kiai Abdul Hamid pulang ke Madura. Perjalanan tersebut disebut memakan waktu sabedduk. Yakni dari pagi hingga dhuhur. Ikan yang membawa Kiai Abdul Hamid ini mendarat di pesisir Ambunten.

Versi lain, sebutan Kiai Bedduk ini mengacu pada suatu peristiwa. Suatu waktu Kiai Abdul Hamid bersama santri atau pengikutnya bepergian. Kala itu waktu Dhuhur sudah masuk.

“Kiai, kita belum shalat Dhuhur,” ingat santri Kiai Hamid, di tengah perjalanan. Kala itu memang menunjukkan posisi matahari sudah hampir masuk waktu Ashar.

“Nanti saja. Masih lama habisnya waktu shalat Dhuhur,” dawuh Kiai Abdul Hamid, tenang.

Meski merasa aneh, namun para santri diam saja, dan melanjutkan perjalanan. Tak berani berkata-kata menyanggah sang Guru.

Setelah berapa lama, kejadian aneh terlihat. Posisi matahari seakan tertahan, tak berubah. Padahal sudah memakan waktu berjam-jam. Seakan waktu berhenti sebab karomah Sang Wali. Waktu bedduk pun berjalan berjam-jam di luar semestinya.

Hingga sampai tujuan, posisi matahari tetap di tempatnya. Kiai Abdul Hamid lantas shalat mengimami pengikutnya, shalat bedduk.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar