Mengenang Pak Sukur Notoasmoro, Praktisi Legendaris Bahasa Madura

 

R. P. A. Sukur Notoasmoro (kiri), dan salah satu karyanya: Paramasastra Madura. (Ngoser.ID)

Ngoser.ID – Bahasa Madura dan Raden Panji Abdus Sukur Notoasmoro merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ibarat keping logam uang dengan masing-masing sisinya. Hal ini kiranya tidaklah berlebihan—meski keberadaan bahasa Madura jelas bukan karena adanya Pak Sukur atau Gus Sukur, karena harus diakui, salah faktor utama lestarinya bahasa Madura memang tidak bisa lepas dari peranan tokoh-tokoh praktisinya. Siapapun ia yang terbukti memberikan kontribusi besar bagi eksistensi bahasa Madura, tentu akan menjadi bagian yang juga tak akan pernah terpisahkan dalam setiap sisi perjalanan bahasa ini.

Dan Gus Sukur—yang kini sudah almarhum, tokoh yang hidup di era lima zaman (Belanda, Jepang, Kemerdekaan disambung dengan Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi)  ini merupakan tokoh ter-utama di antara tokoh-tokoh utama lainnya di era hampir terpuruknya bahasa daerah (dalam hal ini bahasa Madura Timur atau Sumenep) yang dulu merupakan bahasa baku (standar) pulau Madura dan daerah tapal kuda (sebagian besar daerah Bangwetan). Terbukti selama hidupnya beliau selalu menjadi pusat jujukan berbagai pihak terkait di bidang budaya, seni, bahasa, maupun sejarah Madura.

Asal usul

Raden Panji Abdus Sukur Notoasmoro lahir di Sumenep, 15 April 1922 Masehi. Ayahnya bernama Raden Ario Suryoasmoro, dan ibunya bernama Hadiyah. Ayah Pak Sukur merupakan salah satu anggota keluarga besar keraton Sumenep. Jika dirunut, nasab dari pihak kakek Pak Sukur (ayah dari ayahnya) dari jalur pancaran laki-laki bersusur galur pada Kangjeng Kiai Adipati Ario Suroadimenggolo V, Hoofd Regent atau Adipati Wadhono (adipati yang membawahi beberapa kadipaten) di Semarang, yang wafat dan dikuburkan di Sumenep tahun 1242 Hijriah. Sedangkan dari pihak nenek (ibu dari ayahnya) merupakan salah satu putri dari Panembahan Muhammad Saleh Natakusuma putra sekaligus pengganti Kangjeng Sultan Sumenep, ‘Abdurrahman Pakunataningrat.

Dari kedua belah pihak tersebut, leluhur Pak Sukur memang terkenal sebagai keluarga bangsawan pejuang yang pakar dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, meliputi agama, budaya, hingga politik dan hukum. Leluhur dari pancer, Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V dikenal sebagai tokoh bangsawan Jawa yang luas wawasan keilmuannya (Mr Hamid Algadri dalam bukunya, “Islam dan Keturunan Arab Dalam Pemberontakan Melawan Belanda”). Ketika masih berkuasa di Semarang, Kangjeng Kiai—begitu beliau biasa disebut—seringkali dikunjungi tokoh-tokoh besar di masanya untuk diminta nasihat dan pendapat (termasuk oleh Pangeran Diponegoro, bahkan tokoh-tokoh kolonial). Beliau memiliki 40 putra-putri yang kebanyakan juga memiliki wawasan keilmuan yang luas.

Peristiwa perang Jawa selanjutnya merubah perjalanan hidup keluarga Kanjeng Kiai. Sekitar tahun 1824 Masehi, Suroadimenggolo V dan salah satu putranya Raden Adipati Pringgoloyo (sebelumnya bernama Raden Saleh alias Raden Ario Notodiningrat, yang menjabat sebagai bupati Lasem) ditangkap dan selanjutnya ditawan di atas kapal Perang Pollux, dibawa ke Surabaya hingga diinternir ke Ambon (Lihat buku “Dua Raden Saleh Dua Nasionalis Dalam Abad 19”, tulisan Dr. Soekanto), karena dianggap mendukung Pangeran Diponegoro. Hingga sekitar 1829 dibebaskan dan selanjutnya beliau berdua mendapat jaminan sekaligus suaka dari Sultan Sumenep.

Perlu diketahui, Suroadimenggolo V ini merupakan saudara sepupu sekaligus mertua Kangjeng Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat (hubungan sepupu itu dari pihak ibunda Sultan, yang merupakan putri dari Suroadimenggolo III). Akhirnya Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V dan Raden Adipati Pringgoloyo hijrah ke Sumenep. Dalam catatan silsilah keluarga di sini (Silsilah tulisan R.B. Abdul Fattah), beliau hijrah bersama isteri dan 10 orang putra-putrinya—termasuk Pringgoloyo (dari total 40 putra-putri). Kedudukan sebagai adipati Semarang diberikan kepada salah satu putranya, Raden Krisno (Adipati Suroadimenggolo VI).

Pringgoloyo—yang menjadi cikal bakal jalur keluarga Pak Sukur, karena pengalaman sekaligus wawasan keilmuannya yang luas (usia belasan tahun sudah lulus dari perguruan tinggi di India) beliau dipercaya oleh Sultan Sumenep sebagai wakilnya dalam menjalankan roda pemerintahan, dan selanjutnya ditetapkan sebagai Rijksbestuurder (Patih) Sultan Sumenep. Sebuah pangkat yang selanjutnya diturunkan pada putranya, Raden Tumenggung Ario Mangkukusumo (kakek buyut Pak Sukur).

Sementara leluhur dari pihak ibu dari kakek Pak Sukur merupakan keturunan dari Sultan Sumenep yang juga sangat terkenal luas wawasan keilmuannya. Berakar dari keluarga ‘alim ‘ulama, ‘arif, dan menguasai puluhan bahasa asing. Buku karya Sir Thomas Stamford Raffles yang sangat terkenal, “History of Java” bisa diselesaikan berkat campur tangan Sultan Sumenep sekaligus Kangjeng Kiai Semarang, sehingga nama Sultan Sumenep (waktu itu masih bernama Panembahan Natakusuma II) dan ayah mertuanya diakui sebagai kontributornya. Sultan Sumenep juga pernah mendapat gelar Letterkundige, gelar doctor honoris causa di bidang kebudayaan dari pemerintah Inggris waktu itu.

Kehidupannya

Keluarga Pak Sukur mulai dari ayah hingga leluhurnya merupakan keluarga yang tak pernah lepas dari kebiasaan bergelut dengan ilmu pengetahuan. Sehingga kemudian menjadi sebuah tradisi yang mengakar kuat. Di tengah dimanjanya kaum bangsawan Sumenep dengan gaji bulanan (onderstand), kendati yang menerima bukan pegawai pemerintah, tidak membuat keluarga Sukur kehilangan ghirah (antusias) untuk menuntut ilmu. Pendidikan pertamanya ditempuh di Verpolg School (sekolah pribumi), lalu Gubernemen Kelas Doea, Perguruan Nusantara (Schakel School) dan berbagai kursus bahasa asing, dan lain-lain.

Sejak kecil Pak Sukur terkenal sebagai pribadi yang cerdas. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang pandai berdiplomasi. Waktu sekolah pun Pak Sukur merupakan siswa yang menonjol dan selalu juara satu. Kehidupan Pak Sukur juga sarat dengan aktivitas yang sangat berbau Madura. Pemikiran dan ide-idenya seputar budaya, seni, dan bahasa Madura seringkali membuat pakar-pakar terkait di masanya takjub. Sehingga tak jarang beliau selalu dihadirkan dalam setiap even-even berbau Madura sebagai narasumber, penyelia, maupun editor berbagai bentuk tulisan.

“Tak terkecuali juga menjadi rujukan kaum akademisi, kendati beliau tidak pernah menyentuh bangku perguruan tinggi,” kata Dr. M. Saidi, salah satu menantunya, beberapa waktu silam.

Pernah dulu, menurut Saidi, Pak Sukur yang sudah udzur didatangi oleh Rektor Universitas Jember. Tujuannya salah satunya mengenai rencana menghapus tanda baca hamza atau bisat (apostrof atau tanda ‘/’) dalam bahasa Madura, untuk menyelaraskan dengan penulisan bahasa Jawa dan Indonesia, atau diganti dengan huruf “k”. Tentu saja rencana itu ditolak oleh Pak Sukur. Dan setelah mendapat penjelasan dari Pak Sukur, rencana itu harus diurungkan, karena jelas berakibat bisa menghilangkan makna.

Sukur contoh dua kata yang pelafalannya hampir sama seperti emma’ (ibu) dengan emmak (kakak lelaki), atau embu’ (ibu) dan embuk (kakak perempuan). Sehingga peran apostrof jelas tidak bisa dihilangkan.

Contoh lainnya yang diberikan Pak Sukur dalam hal reduplikasi suku kata. Contoh kata “rata”, maka ketika diulang menjadi ta’-rata’an. Sehingga ketika tanda apostrof (‘) itu dihilangkan maka tidak ada maknanya lagi.

Semasa hidupnya Pak Sukur banyak menorehkan peran dalam menjaga tradisi lisan Madura ini, yang waktu itu sudah menjadi serpihan-serpihan kecil akibat perubahan jaman dan pengaruh budaya asing. Bersama tokoh-tokoh lainnya Pak Sukur memprakarsai pelaksanaan Sarasehan Bahasa Madura tahun 1973, yang kemudian melahirkan rumusan resmi Bahasa Madura.

Selepas pensiun sebagai PNS tahun 1979 (jabatan terakhir Kepala Kabin PDPLB Wilayah Sumenep Utara I), aktivitasnya sebagai praktisi budaya Madura tidak berhenti. Bahkan kegiatannya tambah padat. Tahun 1987, Sukur bersama kawan-kawannya mendirikan sebuah kelompok yang diberi nama Tim Pembina Bahasa Madura (Tim Nabhara) kantor Depdikbud Kabupaten Sumenep. Pembentukan tim itu atas saran kepala Kantor Depdikbud Sumenep waktu itu H. A. Said Hidayat. Pak Sukur merupakan Ketua pertamanya. Saat ini posisi tersebut dilanjutkan oleh salah satu putra beliau, H. R. B. Nurul Hamzah, M. Pd.

Pak Sukur juga dikenal sebagai sosok yang tegas, tegar, idealis, dan memiliki ingatan yang sangat kuat. Kebiasaannya menjadi pemateri dalam setiap kepentingan yang beraroma Madura selalu terus beliau jalani hingga lanjut usia. “Saya hanya mencoba mengembalikan bahasa dan kebudayaan Madura yang sudah mulai berserakan berkeping-keping di sana sini agar kembali pada asalnya. Tapi saya bukan satu-satunya orang yang melakukannya,” alasan Pak Sukur sambil merendah, seperti yang dituturkan kembali oleh Nurul Hamzah, putranya.

Dalam aktivitasnya tersebut, usia dan kondisi fisik yang sudah lemah tidak menjadi penghalang, atau mengurangi ingatan sekaligus kecerdasannya. Hanya jika harus menempuh jarak jauh, beliau hanya mewakilkan dirinya dengan mengirim tulisan seperti makalah dan semacamnya. Pembatasan itu beliau lakukan saat usianya sudah cukup sepuh.

Tanggal 01 Februari 2013, warga Madura khususnya Sumenep kehilangan putra terbaiknya: seorang ahli paramasastra, ondagga basa, kosakata, peribahasa, aksara Gajang (carakan), careta kona, kesenian dan kebudayaan Madura ini dipanggil ke rahmat-Nya dalam usia 91 tahun. Pak Sukur meninggalkan 9 putra-putri dari isterinya yang bernama Raden Ajeng Amra. Selama hidupnya Pak Sukur banyak meninggalkan tulisan-tulisan penting mengenai Madura, namun hanya satu yang berbentuk buku.

Kadang tulisan-tulisannya yang berbentuk buku justru tidak dinamai dirinya sebagai penulis, tapi dinamai orang lain atas keinginan beliau. Buah-buah pikirannya banyak ditulis oleh teman-teman beliau. Yang dinamai beliau hanya buku Paramasastra Madura. Selebihnya makalah-makalah, dan lain-lain.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar