Menelusuri Kamp Interniran Jepang di Pulau Garam

 

Ilustrasi kamp tahanan Jepang. (sumber: pinterest.com)

Ngoser.ID - Meski tak berlangsung lama, masa penjajahan jepang di wilayah Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945 memberikan dampak yang cukup besar bagi perjalanan sejarah bangsa.  Jejaknya yang terbatas masih membekas hingga sekarang.

Sebulan pasca serangannya ke pangkalan meliter Amerika Sekikat di Pearl Harbor, bala tentara Jepang secara bertahap mulai menyerang dan menguasai kawasan Asia tenggara, termasuk juga Hindia-Belanda. Di mulai pada bulan Januari 1942, mula – mula meliter Jepang merebut kota-kota penghasil minyak seperti di Tarakan Kalimantan, Ambon, Kendari dan Palembang. Perebutan wilayah ini dimaksudkan untuk mendukung aksinya selama Perang di wilayah Asia – Pasifik.

Sebulan kemudian duel panas berlanjut di laut Jawa. Kapal-kapal laut milik angkatan laut Amerika yang bersiaga, luluh lantak diserang oleh Angkatan laut Jepang. Akibatnya beberapa wilayah pesisir di Pulau Jawa dapat dikuasai. Seragan demi serangan kemudian berlanjut ke berbagai daerah, hingga membuat para petinggi pemerintahan di Batavia terdesak.

Peta kamp tahanan Jepang di Madura. (Sumber: Stedu)


Selanjutnya, pada tanggal 8 Maret 1942 rombongan delegasi pemerintah Hindia Belanda yang terdiri dari Gubenur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Petinggi KNIL Letnan Jenderal Hein Ter Poorten dengan terpaksa menghadiri perundingan di Kalijati. Tekanan dan paksaan yang dilakukan oleh pihak Jepang kepada petinggi negara koloni itu mewarnai jalannya perundingan.

Dalam buku dibawah matahari terbit (2015) dijelaskan, pihak Jepang sesekali terlihat sangat jengkel dengan sikap dan pernyataan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terlalu bertele-tele dan mengulur waktu selama perundingan.  Setelah memakan waktu berjam-jam lamanya, tepat pukul 18.20, akhirnya Letnan Jenderal Hein Ter Poorten menyerahkan seluruh wilayah Hindia-Belanda itu tanpa syarat apapun kepada Jenderal Hitoshi Imamura selaku Panglima Tentara Kekaisaran Jepang di Jawa.

Keesokan harinya, salah seorang perwira  atas nama panglima tinggi meliter Hindia Belanda menyiarkan penyerahan kekuasaan tersebut melalui Radio NIROM. Instruksi-intruksi  yang disampaikan kemudian diikuti oleh tindakan para pejabat pemerintahan Hindia-Belanda dengan melarikan diri ke Australia. Nahasnya meliter-meliter Jepang telah mengantisipasi kejadian tersebut. Akibatnya puluhan ribu tentara KNIL dan sekutu serta masyarakat sipil bekulit putih yang belum sempat melarikan diri, ditangkap dan dijebloskan dalam kamp-kamp pengasingan menjadi tawanan perang.

Kamp Interniran Di Madura

Melansir laman japanseburgerkampen, di Madura, selama bulan Maret hingga April 1942, diperkirakan ada sekitar 2.000 orang yang  ditangkap dan dijebloskan kedalam kamp-kamp konsetrasi Jepang. Kamp tersebut tersebar di tiga wilayah kabupaten, antara lain di Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep.

Di Bangkalan, kamp tawanan dipusatkan di empat titik, antara lain di gedung pusat karantina desa Sukalila, Sekolah Belanda-Tionghoa di kota, Depo Kereta Api milik Perusahaan Tram Uap Madura di Kamal, dan Bivak Tompang di Kwanyar. Mereka yang ditawan ditempat-tempat tersebut sebagian besar adalah eks pasukan Meliter-Hindia Belanda, Inggris dan Amerika. Secara bertahap, mereka kemudian dipindahkan berkelompok ke kamp-kamp konsentrasi Jepang yang ada di Surabaya.

Di Pamekasan kamp tawanan terpusat di satu titik yakni bangunan penjara yang terletak di pusat kota. Kamp ini secara khusus difungsikan untuk menahan masyarakat sipil Eropa, Indo-Eropa, dan sebagian orang - orang Tionghoa.

Sumber data: japanseburgerkampen.nl

Pertama-tama pada bulan April 1942, kamp ini ternyata difungsikan untuk menyekap para pejabat pemerintahan yang dulunya bertugas di seluruh pulau Madura, seperti residen, asisten residen, dan pejabat terkait lainnya yang berkulit putih. Tak berlangsung lama mereka kemudian dipindahkan ke Penjara Kloben, Surabaya.

Selanjutnya, bulan agustus 1942, kamp ini kembali sesak dengan puluhan tawanan baru. Mereka adalah para pekerja Perusahan Industri Garam dan Perusahaan Tram Uap Madura yang dituduh oleh militer Jepang atas kasus sabotase jalur kereta Api. Tanpa keputusan pengadilan, pada tahun 1944 sebanyak 64 orang yang ditahan, kemudian dikirim ke daerah Bojonegoro untuk menjalani dieksekusi mati di tengah hutan.

Selain Pamekasan, kamp sipil juga terdapat di Sumenep. Gedung yang dijadikan tempat tawanan adalah bekas bangunan Hotel van Duyne di Marengan. Hotel tua yang sudah ada sejak abad 19 tersebut difungsikan sebagai rumah tawanan perang sejak bulan April 1944 hingga agustus 1945. Menurut laporan yang ada, mereka yang ditawan disini adalah para pria Indo - Eropa berikut juga keluarganya. Mereka dipekerjakan secara paksa dibawah pengawasan otoritas militer setempat.

(tulisan ini bersumber pada sumeneptempodulu.or.id)

Faiq/Stedu/Ng

Posting Komentar

0 Komentar