Raja-raja Madura dan Gelar Anumerta (Bagian 1 – Seding Puri Sumenep)

 

Peta Madura dan kawasan sekitar Surabaya oleh Adriaan Reland, 1728. (Rijksmuseum.nl)

Ngoser.ID – Di antara para penguasa Madura, terdapat beberapa tokoh yang memiliki gelar anumerta. Biasanya, gelar ini dikaitkan dengan kejadian di masa akhir kehidupan sang tokoh. Ngoser.ID di edisi ini akan mengulasnya berdasar informasi babad atau folklore yang diambil dari beberapa sumber lokal.

Dimulai dari Madura Timur, satu-satunya penguasa Sumenep yang memiliki gelar anumerta ini diperkirakan hidup pada abad 15 hingga paruh pertama abad 16.

Raden Wonoboyo, begitu naskah lama tentang sejarah awal Sumenep menyebut seorang adipati di ujung Timur nusa garam ini. Rakyat menyebut sang adipati dengan panggilan raja atau rato. Tulisan babad menyebut beliau Pangeran Sumenep. Artinya pangeran atau penguasa dari negeri Sumenep.

Raden Wonoboyo merupakan salah satu putra Aria Banyak Modang. Aria Banyak Modang adalah keponakan tokoh legendaris keraton Sumenep: Jokotole (1415-1460).

Pada waktu Sumenep diperintah oleh Aria Wigananda (1460-1502), putra tertua sekaligus satu-satunya anak laki-laki Jokotole, Aria Banyak Modang diangkat sebagai patih.

Di kemudian hari Raden Wonoboyo diambil sebagai menantu oleh Aria Wigananda. Karena Wigananda tidak punya anak laki-laki, maka Wonoboyo ditabalkan sebagai calon raja selanjutnya.

Sepeninggal Wigananda pada 1502, maka dinobatkanlah Wonoboyo sebagai “raja” Sumenep, dengan gelar Pangeran Secodiningrat.

Status Sumenep sejatinya berada di bawah Kerajaan Demak, penerus kerajaan Majapahit. Raden Fatah, Sultan Demak pertama merupakan putra Brawijaya V.

Dalam rentang waktu yang relatif lama, Madura berada di bawah naungan Majapahit. Sehingga angin perubahan kekuasaan yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan yang didirikan Raden Wijaya sebab bantuan Aria Wiraraja itu tidak membuat perubahan bagi Madura. Madura juga tidak melakukan upaya melepaskan diri.

Pasalnya, di Madura juga masih banyak trah Majapahit yang memegang kekuasaan atau menjadi penguasa lokal di pulau garam tersebut.

Melanjutkan kisah babad, konon daerah Madura di menjelang runtuhnya Majapahit diberikan pada Ratu Maskumambang. Ratu ini merupakan salah satu putri Brawijaya V yang dinobatkan sebagai penguasa di Japan (dekat Surabaya). Oleh sang Raja Majapahit, Maskumambang diberi kuasa atas wilayah Timur dan Utara. Di dalamnya termasuk Madura.

Ketika Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa, pasca runtuhnya Majapahit, Sultan Demak pertama itu tidak mengganggu kekuasaan saudara perempuannya itu.

Nah, saat Wonoboyo alias Secodiningrat diangkat sebagai adipati Sumenep, maka sesuai tradisi, diwajibkan menghadap ke Japan. Yaitu menghadap Ratu Maskumambang.

Juga berdasar kisah babad, Ratu Maskumambang saat itu masih membujang. Sedang Pangeran Wonoboyo dikenal dengan wajah tampannya. Sehingga saat Wonoboyo menghadap ke Japan, ketampanannya membuat Ratu mabuk kepayang. Ratu Japan jatuh cinta kepada Pangeran Sumenep.

 

Perang Puri

Singkat cerita, datanglah pinangan dari Ratu Japan saat sang pangeran menghadap ke sana. Tentu saja Pangeran Sumenep tidak menyatakan menerima. Di samping beliau memang sudah memiliki isteri dan tiga anak, hal itu dipandangnya sebagai petanda buruk.

Akhirnya, Pangeran Sumenep tanpa pamit kembali ke Sumenep. Meninggalkan bayang-bayang dirinya yang sudah membuat Ratu cinta mati.

Sadar ditolak, Ratu Japan murka. Beliau pun mengutus keponakannya, Raden Kanduruan, salah satu putra Raden Fatah yang menjadi patih Japan. Tujuannya hanya satu, membawa Pangeran Sumenep hidup-hidup untuk diadili.

Kembali ke Sumenep tanpa pamit disadari Pangeran Wonoboyo akan membawa akibat yang sangat buruk. Namun rasa cintanya pada sang isteri, membuatnya harus melawan Ratu Japan. Sesampainya di Sumenep, disiapkanlah pasukan perang. Tanpa harus menunggu kedatangan pasukan Japan yang diperkirakannya akan menyerang Sumenep, beliau lebih dulu menghadang di luar kota raja.

Pasarean Pangeran Siding Puri, di Desa Bangkal Sumenep. (ngoser.id)

Patih Japan, Kanduruan gelisah. Pasalnya, Pangeran Sumenep dikenal sebagai adipati yang arif dan santun. Sehingga tak layak diperangi. Namun sebagai negarawan, Kanduruan terpaksa melaksanakan tugasnya.

Perang pun pecah di lokasi yang saat ini merupakan wilayah kecamatan Lenteng. Pasukan Kanduruan merupakan paduan pasukan-pasukan Madura Barat dan Pamekasan.

Kanduruan memang tidak membawa pasukan besar, karena memang sebisa mungkin ingin menghindari peperangan. Namun karena Pangeran Sumenep melawan, maka tidak ada jalan lain selain perang.

Perang tersebut terjadi  pada 1559. Perang yang tak seimbang membuat pasukan Sumenep menderita kekalahan. Meski sebelumnya sempat unggul. Pangeran Sumenep yang luka parah akhirnya menghembuskan nafas terakhir.

Pangeran ini selanjutnya dikenal dengan gelar anumertanya, Pangeran Seda ing Puri atau Seding Puri. Yaitu Pangeran yang meninggal di tempat bernama Puri (Pore).

Ng

Posting Komentar

0 Komentar