Ayah Para Raja di Madura

 

Pintu masuk menuju pasarean Pangeran Demang di Plakaran, Arosbaya, Bangkalan. (Ngoser.ID)

Ngoser.ID - Saat belajar sejarah Madura, khususnya di era awal, maka tidak bisa, jika tidak menyebut nama tokoh besar ini. Pangeran Demang Plakaran, di catatan lain tertulis Kiai Demang Plakaran.

Sejarah atau literatur yang ada tentang Madura awal memang tidak banyak mengupas Sang Tokoh Agung ini. Namun beliau semacam tokoh sentral. Karena tokoh-tokoh penguasa Madura, khususnya sejak abad 15 merupakan tetesan putra Ario Pojok ini.

Asal Usul

Dalam catatan stamboom atau stambook yang memuat silsilah raja-raja Madura Barat, Pangeran Demang atau Kiai Demang Plakaran merupakan tokoh istimewa. Beliau merupakan pembuka dinasti di daerah yang kini menjadi Bangkalan.

Dalam silsilah disebut bahwa beliau ialah trah Majapahit. Leluhurnya dari garis laki-laki ialah Ario Damar, raja Palembang. Ke atas, Ario Damar tercatat sebagai salah satu anak Raja Majapahit, Brawijaya.

Brawijaya merupakan gelar penguasa Majapahit yang dipakai oleh beberapa orang. Sejarah menyebut ada Brawijaya I, II, III, IV, hingga V. Bahkan ada yang mengatakan hingga VII.

Nama Brawijaya sendiri disebut berasal dari kata Bhra Wijaya. Wijaya sendiri merupakan nama pendiri sekaligus penguasa pertama Majapahit.

Mengenai sebutan bhra, salah satu pendapat menyebut sebagai singkatan dari bhatara. Maknanya baginda. Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna “baginda di”. Sehingga merujuk pada itu, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya. Menurut Slamet Muljana, bhra atau bhre merupakan kata yang semakna dengan shri. Ketiga kata tersebut berarti “sinar”. Satu kesimpulan yang bisa diambil, ketiga sebutan tersebut biasa digunakan oleh para raja.

Kijing Pangeran Demang yang sudah dipugar. (Ngoser.ID)

Tome Pires dalam catatanya yang berjudul Suma Oriental, menyebut bahwa pada tahun 1513, di Jawadwipa (pulau Jawa) ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.

Ketiga nama itu, yakni Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara. Bhatara Wijaya ini diidentikkan dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486.

Di kala itu ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.

Sementara Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhra Ranawijaya atau tidak. Tetapi, jikalau benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.

Dimungkinkan, Bhra Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya.

Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut.

Kembali pada Pangeran Demang, di stambook Madura Barat, Ario Damar disebut sebagai anak Brawijaya V. Sang raja memerintah pada 1468-1478 M.

Sosok ini sering diidentikkan dengan tokoh Bhre Kertabumi. Namun terlepas dari asumsi-asumsi itu, penulisan Pangeran Demang sebagai cucu dari Brawijaya V itu masih memerlukan kajian lebih lanjut.

Pasalnya dari Pangeran Demang sampai Ario Damar saja hitungannya ada 5 generasi. Sehingga agak aneh jika Ario Damar tetap disambungkan pada Brawijaya V yang memerintah pada 1468-1478 M. Dalam sebuah pendapat, Brawijaya ayah Ario Damar diidentifikasi sebagai Wikramawardana, yaitu Raja Majapahit setelah Hayam Wuruk.

Versi lain di sebuah manuskrip kuna, Pangeran Demang tercatat sebagai keturunan Sunan Giri (Ainul Yaqin/Raden Paku). Bahkan di makamnya saat ini, beliau ditulis sebagai cucu Sunan Giri.

Pertapa Sakti

Pangeran Demang lahir dari pasangan Ario Pojok dan Nyai Ageng Budho (keturunan Lembu Petteng, salah satu anak Brawijaya juga).

Dalam catatan Zainalfattah, Pangeran Demang lahir di desa bernama Demongan. Sehingga kadang beliau juga ditulis Kiai Demong. Desa Demongan dahulu masuk kabupaten Sampang.

Ayah Pangeran Demang, Ario Pojok merupakan Kamituwo di Madegan, Sampang.

Sejak kecil, Pangeran Demang dikisahkan memiliki perbawa besar. Beliau juga dikenal suka bertapa, dan disenangi banyak orang.

Hingga suatu saat, berdasar petunjuk gaib, Pangeran Demang muda disuruh hijrah ke desa bernama Plakaran, di Arosbaya.

Prasasti di pasarean Pangeran Demang. (Ngoser.ID)

Selama di perjalanan beliau selalu disambut banyak orang yang lantas menjadi pengikutnya. Beliau juga terpaksa banyak berhenti, karena banyak orang yang ingin menjamunya.

Hingga sang pangeran ini di perjalanannya bertemu dengan seorang perempuan sepuh, yang memberikan bungkusan berisi 40 buah nagasari.

Sang nenek itu mengatakan jika dirinya maupun 40 buah nagasari itu berasal dari desa bernama Plakaran. Pangeran Demang pun minta diantar ke sana.

Singkat cerita, kedatangan Pangeran Demang menarik simpati banyak orang, yang menginginkan beliau tinggal di Plakaran. Beliau dimuliakan banyak orang.

Sang pangeran pun menikah dengan Nyai Sumekar, putri dari perempuan lanjut usia yang memberinya 40 buah nagasari.

Pangeran Demang lantas membangun sebuah rumah besar yang oleh banyak orang disebut keraton. Keraton itu berada di sebelah barat desa Plakaran, dan sekaligus sebelah timur desa Arosbaya. Orang-orang lantas menyebut bangunan dan daerah itu dengan sebutan Keraton Anyar atau Keraton Kota Anyar.

Menurunkan Para Raja Madura

Dari perkawinan dengan Nyai Sumekar, Pangeran Demang dikaruniai 5 anak. Yaitu Kiai Adipati Pramono, lalu Kiai Pratolo, Kiai Pratali, Pangeran Panangkan, dan Kiai Pragolbo.

Dalam riwayat tutur, seluruh anak Pangeran Demang Plakaran ada 38 orang. Namun yang dikenal hanya 5 orang di atas saja.

Anak tertua Pangeran Demang, Kiai atau Raden Adipati Pramono menjadi penguasa Sampang. Adipati Pramono menikah dengan putri Kiai Wonorono, penguasa Pamelengan (Pamekasan), hingga kedua wilayah itu menjadi kekuasaan Adipati Pramono.

Raja Sampang sekaligus Pamekasan itu menurunkan penguasa-penguasa di Sampang, Pamekasan, sekaligus Sumenep.

Sementara anak Pangeran Demang yang nomor 5, Kiai Pragolbo menggantikan sang ayah sebagai penguasa Madura Barat, dan bergelar Pangeran Arosbaya.

Kiai Pragolbo juga menurunkan beberapa penguasa di sekitar Pamekasan, seperti Jambringen. Pragolbo juga menurunkan para raja Madura Barat hingga Cakraadiningrat VIII.

Sementara Pangeran Demang, setelah wafat dimakamkan di Desa Plakaran, Arosbaya. Hingga kini makamnya masih bisa dikunjungi, dan pengalami pemugaran.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar