Asiruddin, Panembahan Sumenep Pertama

Foto udara Kubah Panembahan Sumala di Asta Tinggi Sumenep. (Foto//Mmr)



Ngoser.ID – Panembahan merupakan salah satu gelar penguasa atau raja di Nusantara, khususnya di masa kerajaan-kerajaan Islam, dan terutama di Madura sekaligus Jawa.

Maknanya kurang lebih tokoh penguasa suatu wilayah yang disembah dan dijunjung tinggi. Gelar ini setingkat di bawah gelar Sultan atau Sunan. Meski ada yang mengatakan sama, karena maknanya mirip.

Di Jawa, gelar panembahan pertama kali dipakai oleh Raden Sutawijaya anak Ki Gede Pamanahan. Sutawijaya naik tahta sebagai raja Mataram Islam yang pertama, bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Pajang yang didirikan ayah angkatnya, Joko Tingkir alias Sultan Adiwijaya. Peristiwa tersebut terjadi pada 1587.

Meski dalam Serat Kandha, gelar panembahan juga pernah dipakai oleh Sultan Demak I, Raden Fatah (wafat 1518). Dalam serat tersebut, Raden Fatah dikenal dengan Panembahan Jimbun.

Selain itu di sejumlah catatan genealogi tokoh-tokoh Wali Sanga Jawadwipa, gelar panembahan juga dipakai oleh anak-anak dari beberapa sunan. Seperti anak Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Salah satu contoh ialah Panembahan Pakaos, anak Sunan Kudus, yang menurunkan Pangeran Katandur di Sumenep.

Gelar panembahan juga ditemukan di beberapa wilayah termasuk Madura. Tokoh paling awal yang menggunakan gelar ini ialah Panembahan Ranggasukawati, raja Pamekasan (1530-1616); dan Panembahan Lemah Duwur, penguasa Madura Barat (1531-1592).

Di Madura Timur atau Sumenep, berdasar data otentik, gelar panembahan baru digunakan pada abad 18. Yang menggunakannya ialah Pangeran Natakusuma (1762-1811), putra sekaligus pengganti Bindara Saot alias Tumenggung Tirtanegara, penguasa Sumenep pada 1750-1762. Nama kecilnya ialah Asiruddin, lalu berganti Raden Ario Atmajanegara.

Makam, prasasti, dan nisan Panembahan Sumala di Asta Tinggi Sumenep. (Foto/MFM-MC)

Itulah sebabnya, Pangeran Natakusuma dikenal dengan sebutan Panembahan Sumala (Sumolo) atau Somala.

“Maknanya ialah raja Sumenep yang mula-mula bergelar panembahan,” kata Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.

Dalam buku “Sejarah Berdirinya Wakaf Panembahan Sumolo Sumenep” (1975) susunan M. Mochtar Mangkuadiningrat, juga disebut makna nama Sumala, seperti yang disampaikan oleh Nurul. Buku itu mempertegas bahwa sebelum Panembahan Sumala, para penguasa Sumenep bergelar Pangeran atau Tumenggung.

“Memang, dalam daftar raja-raja Sumenep, ada nama Panembahan Joharsari yang disebut hidup di abad 14. Namun tidak didukung sumber otentik. Terlebih di masa itu pengaruh kerajaan Majapahit masih kuat, sehingga penggunaan simbol-simbol keislaman oleh penguasa lokal yang notabene di bawah naungannya, dipertanyakan. Di samping nama Joharsari juga tidak lazim digunakan di Madura Timur khususnya,” ujar Nurul.

Panembahan Sumala yang bernama asli Asiruddin ini bisa dikata merupakan maestro di kalangan penguasa dinasti terakhir (1750-1929). Dua bangunan monumental Sumenep yang masih bisa disaksikan oleh generasi saat ini, yaitu keraton dan masjid Jami’, lahir di masanya.

Beliau juga mewariskan sistem pelestarian peninggalan-peninggalan keraton, yang berjalan secara estafet, dan dikelola lembaga wakaf yang dipimpin Nadhir dari trah keraton. Berkat adanya sistem ini, peninggalan sejarah, khususnya di masa dinasti terakhir masih bisa lestari dari tangan usil dan panas pihak kolonial.

“Sisa kebesaran masa lalu Madura Timur masih bisa disaksikan langsung dengan mata telanjang. Bangunan keraton Sumenep ini satu-satunya yang masih ada di Madura, bahkan satu-satunya di Jawa Timur,” ujar Ja’far Shadiq, dari Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser).

Sempat ada upaya “menghilangkan” memori kebesaran sejarah Sumenep dari kaum kolonial Belanda, namun tak berhasil. Salah satunya dengan dibangunnya kantor ambtenaar kolonial, yang dampaknya merusak sebagian pagar asli keraton. Bangunan yang di kemudian hari pernah menjadi kantor Disbudporapar Sumenep, dan sekarang sudah difungsikan lain.

Panembahan Sumala juga dikenal sebagai tokoh yang memberi apresiasi sekaligus penghormatan tinggi pada tokoh-tokoh ulama tak terkecuali di luar Sumenep. Apresiasi yang diwujudkan dalam bentuk pemberian hadiah prasasti sekaligus nisan makam ulama-ulama besar pendahulunya dengan bahan yang tergolong mewah dan istimewa.

“Seperti bangunan makam Kiai Raba di Pamekasan, yang berbahankan giok khusus yang didatangkan dari Tiongkok. Bahkan makam ayah pendiri kasultanan Kadriyah di Pontianak, yaitu Sayyid Husain al-Qadri, batu nisannya merupakan hadiah dari Panembahan Sumala. Itu diterangkan dalam nisan yang terbuat dari giok pilihan,” tambah Ja’far.

Panembahan Sumala tercatat wafat pada 2 Rabiul Awwal 1230 Hijriah (1811). Jenazahnya di makamkan di kubah tersendiri. Beliau digantikan putranya yang bernama Raden Bagus Abdurrahman alias Pangeran Natakusuma II, yang dikenal dengan Sultan Pakunataningrat.

Ng/MC/Mmr

Posting Komentar

0 Komentar