Pusaka Keraton Sumenep: Gelar, Tuah, dan Merawat Budaya Leluhur

 

R. Nurul Taufik Rahman Paramodiningrat, dan pusaka Jenengan Dhalem miliknya. (Foto: dokumen pribadi)

Ngoser.ID – Keris pusaka peninggalan Keraton Sumenep, khususnya peninggalan era pemerintahan Panembahan Sumolo dan Sultan Pakunataningrat, memiliki ciri khas tersendiri. Tak hanya itu, umumnya pusaka para raja legendaris dari dinasti terakhir itu juga memiliki nama atau gelar. Istilah di kalangan keluarga keraton dahulu, ajuluk (bergelar).

Sebutan yang umum di Sumenep, pusaka peninggalan para raja itu namanya Jenengan Dhalem. Empunya juga khusus. Seperti di masa Panembahan Sumolo itu empunya bernama Kiai Brungbung (dalam ejaan lain, Brumbung). Sedangkan di masa Sultan Abdurrahman, empunya ada yang bernama Kiyai Citranala. Dengan demikian, bisa dibedakan jenis dan ciri khasnya dengan pusaka yang dibuat oleh empu lainnya.

Dari jumlah pusaka Jenengan Dhalem yang diperkirakan ratusan itu, menurut sumber keluarga keraton, sebagian kecil memiliki julukan atau berjuluk. Nama julukan itu biasanya disesuaikan dengan maksud pembuat pusaka atau didasarkan pada kejadian luar biasa yang disebabkan oleh pusaka tersebut.

Namun ada beberapa pusaka berjuluk yang dirahasiakan namanya. Beberapa ahli warisnya mengaku hal itu merupakan wasiat dari pendahulunya. Seperti salah satunya pusaka jenengan dhalem yang dimiliki oleh R. Nurul Taufik Rahman Paramodiningrat, salah satu anggota keluarga bangsawan Sumenep.

“Pesan sesepuh memang meminta agar tidak usah diekspos julukannya, khawatir dikomersilkan,” kata Gus Taufik, panggilan akrabnya.

Menurut Taufik, hal itu merupakan wasiat yang harus dijaga. Tidak sebatas menjaga pusaka keraton agar tidak terjual saja, namun hal penting yang bisa dipetik dari pesan sesepuh tersebut ialah demi kelestarian budaya keraton secara umum.

“Ada makna lebih luas lagi, tidak sekadar menjaga barang secara fisik atau bendawi. Namun sekaligus merawat budayanya,” tambahnya.

Taufik juga yakin bahwa masih banyak pusaka berjuluk keraton Sumenep yang namanya belum terekspos. Entah karena memang pesan leluhurnya, atau memang keinginan pemiliknya yang sekarang.

“Hanya orang tertentu saja mungkin yang tahu julukan dan cerita utuh seputar pusaka tersebut. Atau setidaknya hanya sebatas keluarga terdekatnya,” kata cucu R.B. Sihabudin Paramodiningrat, salah satu maestro pusaka di kalangan keluarga keraton Sumenep pada masanya.

R.B. Sihabudin Paramodiningrat (kanan). (Foto: Dokumen keluarga dan dokumen Museum Keraton Sumenep)

Tak hanya dari sisi pamor, besi atau wilahnya, dan bentuk, Taufik juga mengungkap sisi mistis pusaka peninggalan keraton Sumenep, yakni tuahnya.

“Ya bukan berarti menuhankan pusaka. Jelas ini yang selalu diwanti-wanti oleh para sesepuh. Bahwa tidak boleh meyakini bahwa pusaka itu memiliki kekuatan dan daya, karena hanya benda saja. Namun di dalam pusaka tersebut secara simbolis terselip harapan dan do’a pembuatnya,” jelas Taufik.

Sifat pusaka para raja Sumenep ini juga menurut Taufik lebih luwes dan luas. “Sesuai harapan dan do’a pembuatnya, lebih nyagara (lebih luas, nyagara berasal dari kata sagara yang artinya laut; red). Menampung semua do’a yang ditujukan pada Allah Yang Maha Kuasa,” tutupnya.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar