Sumenep di Masa Keemasan; Sultan Abdurrahman dan Keragaman (1)

 

Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat. (Foto: Istimewa)

Ngoser.ID – Pertengahan abad 18 hingga paruh kedua abad 19 bisa dikata sebagai masa keemasan negeri Sumenep. Meski memerlukan kearifan tersendiri untuk menempatkannya secara tegas dalam lembaran sejarah. Mengingat tidak sedikitnya perbedaan sudut pandang, yang melahirkan pro kontra. Namun yang jelas, fakta di masa mendatang menunjukkan, peninggalan-peninggalan di kurun tersebut saat ini menjadi aset penting dalam upaya menghangatkan memori sejarah yang mulai dingin dan berpotensi membeku.

Salah satu tokoh yang fenomenal di masa tersebut, ialah Sultan Pakunataningrat. Warga Madura timur menyebutnya Sultan Abdurrahman. Sang nata ini merupakan penguasa ketiga dalam dinasti terakhir di negeri yang dulu bernama Purwareja. Sosoknya nyaris tidak diragukan dalam hal ketinggian keilmuan. Baik di ranah keagamaan hingga kebudayaan. Tak hanya oleh kawan, namun juga oleh lawan.

Meski begitu, tidak sedikit di masa mendatang yang mengait-ngaitkannya dengan keberpihakan pada penjajahan. Berupa sikap lunaknya dan jalinan persahabatan dengan kalangan kulit putih atau warga Eropa itu. Hal ini sejatinya membutuhkan pembahasan agak panjang dan tidak bisa secara sepotong-sepotong. Ibarat mata rantai yang harus selalu terkait dan tidak bisa terputus demi menggerakkan roda agar senantiasa berputar.

Namun agar tidak melenceng dari judul tulisan, pembahasan mengenai hal itu sementara ditangguhkan. Dalam beberapa edisi, tulisan ini membuat batasan di era keemasan. Keemasan yang dirajut dengan membebaskan sekat-sekat dalam sulaman keragaman, sekaligus menempatkan toleransi paripurna dalam keniscayaan perbedaan.

(Tulisan ini pernah dimuat di Media Center Kabupaten Sumenep/sumenepkab.go.id, tanggal 4 Januari 2022)

MC/Ng

Posting Komentar

0 Komentar