Megaremmeng, “Pelar” Perahu Terbang, dan Sisa Kekalahan Dempo Awang

 

Tugu pilar barat di Jalan Diponegoro (kanan) dan tugu pilar timur di Jalan HOS Cokroaminoto (kiri), Sumenep. (Foto/ngoser.id)

Ngoser.IDPelar dalam bahasa Madura atau pilar dalam bahasa Indonesia umumnya bermakna tiang, atau kata padanan lainnya, yang biasanya tiap daerah tak sama. Sebagaimana fungsi pelar pada umumnya, benda padat kokoh (baik yang berbahan kayu atau beton, atau susunan batu bata yang diberi perekat) itu untuk menopang bagian atas bangunan. Namun dalam kasus lain, pelar juga memiliki fungsi sebagai tugu, tiang bendera, penyangga jembatan dan lainnya.

Di kabupaten Sumenep, nama pelar menjadi sebutan lokasi. Hingga dewasa ini sedikitnya ada dua lokasi, yaitu Pelar Bara’ (Pilar Barat) dan Pelar Daja (Pilar Utara). Meski menjadi nama lokasi, baik pelar bara’ atau pelar daja bukanlah nama kampung atau dusun. Luasnya tak lebih dari lebar dari bundaran penghubung empat ruas jalan utama, atau perempatan jalan di kawasan Kecamatan Kota Sumenep.

Pelar bara’ misalnya. Lokasinya berada di perempatan jalan yang menghubungkan Jalan Pahlawan, Jalan Teuku Umar, Jalan Diponegoro dan Jalan Zainal Arifin. Di sana simbol pelar itu ada. Namun lebih mirip tugu pada umumnya. Terletak di sisi selatan ujung Jalan Diponegoro. Secara administratif masuk wilayah kelurahan Bangselok. Kampungnya Pajingan.

Seperti halnya pelar bara’, begitu juga pelar daja yang menghubungkan Jalan Pahlawan, Jalan Imam Bonjol, Jalan Kartini dan Jalan HP Kusuma (Abdul Halim Perdana Kusuma). Posisi pelar terletak di mulut Jalan Pahlawan bagian selatan. Secara administratif masuk wilayah kelurahan Karangduak. Kampungnya Loteng (Pasarsore).

Bentuk tugu kedua pelar itu sama. Tingginya kurang lebih 2 meter. Dicat paduan warna kuning dan hijau. Bentuknya seperti yang ada di foto.

Mitologi

Meski hampir semua warga Sumenep paham dengan istilah pelar bara’ dan pelar daja, namun kemungkinan hanya sebagian kecil yang tahu asal-usul atau makna penamaan itu.

Dalam sebuah kisah, yang sedikit dikupas oleh para sepuh dan catatan babad, keberadaan pelar itu merujuk pada pilar atau tiang perahu terbang milik Dempo Abang (Awang), tokoh antagonis dari negeri seberang (Keling).

Adu fisik dan kedigjayaan antara anak Raja Bermana dengan Jokotole (Pangeran Secodiningrat III), penguasa Sumenep, terangkum dalam Babad Songennep karya Werdisastra. Konon, pertempuan dua orang sakti mandraguna itu berlangsung di udara.

Jokotole mengendarai Megaremmeng, si Kuda Terbang pemberian pamannya, Adirasa. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan Jokotole. Perahu terbang milik Dempo Abang hancur akibat cemeti sakti milik Jokotole.

Perahu itu terbelah dan lebur. Tiang-tiangnya berjatuhan dan tertancap di beberapa tempat. Satu di antaranya di Sumenep. Konon di lokasi yang sekarang dikenal dengan pelar bara’ itu. Tiang lainnya bahkan dikabarkan ada yang menancap di bumi Semarang.

Kisah-kisah yang berangkat dari babad, mitos, atau cerita lisan yang memang susah dicerna logika itu memang tidak perlu dan layak diperdebatkan. Sebagian kalangan menganggap itu omong kosong yang tak layak dijadikan acuan sejarah, penulisan karya ilmiah, dan dianggap bukan bagian dari pengetahuan. 

Namun jika dikaji dari sisi lain, yang di dalamnya juga mengandung beberapa hikmah, kearifan lokal, dan nasehat yang tersembunyi dalam simbol-simbol, beberapa pemerhati sejarah justru menganggap hal itu sebagai seni dalam sejarah.

“Tugas kita bersama, terlebih para sejarahwan itu menelusuri itu. Bisa jadi penelusuran itu justru menguatkan (omong-kosong) itu,” kata seorang teman di diskusi cil-kecilan tentang sejarah di Tim Ngoser (Ngopi Sejarah) Sumenep.

Lalu apa ada kaitannya kisah babad itu dengan penamaan pelar bara’? Seorang pemerhati sejarah di Sumenep, RB Muhlis Danafia mengatakan, penamaan lokasi di Madura, seperti kampung, atau desa, memang banyak berasal dari kisah babad. Meski tidak semua tercover di sana. Sebagian di buku atau kumpulan tulisan lain tentang Madura.

Seperti karya RTA Zainalfattah, sejarahwan legendaris Madura. Sebagian lagi masih dalam bentuk cerita tutur yang diwariskan melalui dongeng pengantar tidur. Yang kemungkinan akan hilang terbawa angin dan ikut jasad penutur saat masuk ke liang kubur. Artinya perlulah diinventarisir, dicatat, dan dijadikan memperkaya sejarah dalam sifatnya sebagai ilmu.

“Seni tutur atau bercerita itu menyimpan banyak kebaikan. Mencetak para pendengar yang baik dan calon penutur yang baik,” kata Gus Muhlis.

Lebih lanjut, menurut Muhlis, terkait dengan kisah pelar Dempo Abang dan kaitan penamaan pelar bara’ tidak lantas perlu didebat panjang. “Kisah itu kan titik tekannya kepahlawanan Jokotole. Tiang yang lantas menancap dan menjadi nama lokasi itu efek kecil saja. Sebagai simbol dan penanda,” katanya.

Empat Pilar

Keberadaan pelar bara’ dan pelar daja, sejatinya merupakan sisa dari keberadaan empat pelar, selaku jumlah keseluruhan. Keempat pilar itu lantas menjadi penghubung jalan protokol dari empat kelurahan di tengah-tengah kota.

Keempat kelurahan itu ialah Bangselok, Karangduak, Pajagalan, dan Kepanjin. Kalau dilihat dari atas, gabungan empat kelurahan itu membentuk arah mata angin (Barat, Utara, Timur, Selatan). Nah, jalan-jalan protokol yang menjadi penghubung keempat kelurahan itu, di setiap ujung jalan atau sudut “bujur sangkar imajinatifnya” terdapat dua buah pilar di kanan-kiri jalan.

“Tapi itu dulu (yang kanan kiri jalan; red),” kata Budayawan legendaris Madura, RPA Sukur Notoasmoro, semasa hidupnya, saat ditanya penulis beberapa tahun lampau.

Kata “dulu” itu tak seperti ejaan “doeloe”, alias tak jelas kapan terakhir masih ada. Almarhum Gus Sukur juga tak sempat menjelaskan tentang hal itu.

RP Mohammad Mangkuadiningrat, pemerhati sejarah lainnya di Sumenep mengatakan, keempat pilar itu di masa kemerdekaan sudah tidak lagi original. Bahkan sudah tak lengkap. Bekasnya pun, kecuali pelar bara’ dan pelar daja sudah tak ada lagi.

“Fungsinya sebagai batas kota (kecamatan kota; red),” kata Mohammad.

Dua pilar lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Gus Sukur dan Mohammad, ialah pelar temor (pilar timur) dan pelar lao’ (pilar selatan). Pelar temor yang asli terletak di ujung Jalan Panglima Sudirman. Pendapat lain menyatakan terletak di ujung Jalan HOS Cokroaminoto. Namun bentuk baru sebagai tanda pelar itu terdapat di ujung utara jalan HOS Cokroaminoto

“Yang di jalan HOS Cokroaminoto itu saya dengar kisah kuna, katanya di pinggir jalan Masjid Naqsyabandi, Kampung Baru, Pajagalan sekarang. Namun malah ada pendapat lain masih agak ke timur lagi, yaitu di depan kantor Bank BRI unit kota saat ini,” jelas Mohammad.

Sementara pelar lao’, terletak di ujung Jalan Trunojoyo, atau tepatnya di depan Hotel Utami. “Pelar lao’ dulu kisahnya sempat makan korban, seorang polisi penjaga. Bola beton yang merupakan ujung pilar lepas dan menimpa polisi tersebut,” kata Muhammad. Kejadiannya sebelum atau pra kemerdekaan.

Sejak saat itu pilar tersebut tidak lagi diperbaiki dan rusak dimakan jaman. Hingga akhirnya bekasnya hilang dan ditelan waktu.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar