Kolase potret komplek makam Panembahan Blingi di Pulau Sepudi (Foto/MF) |
Ngoser.ID – Islam
di tanah Jawa dan Madura, umumnya dibumikan oleh keluarga besar Wali Sanga.
Keluarga ini hingga beberapa abad setelahnya memegang peranan penting dalam
peradaban di Nusywantara (Nusantara).
Tak jarang, pecahan dari keluarga Wali
Sanga juga berperan sebagai umara alias para raja atau pemimpin pemerintahan
sekaligus negara.
Di Sumenep, bahkan salah satu di deretan
daftar raja-rajanya adalah keponakan langsung sesepuh dan imam Wali Sanga,
Sunan Ampel.
Sang keponakan bahkan dikenal sebagai umara
sekaligus ulama. Tokoh yang dianggap mampu memadukan antara kewalian dan
kekuasaan.
Putra Raja Pandita
Dalam daftar para penguasa Sumenep terdapat
dua tokoh yang bernama Pulangjiwo. Keduanya sama-sama penguasa Sumenep, namun
berbeda masa.
Pulangjiwo yang pertama merupakan raja
Sumenep di abad 14. Sedang Pulangjiwo yang kedua adalah raja Sumenep di abad
17.
Pulangjiwo pertama, menurut catatan sejarah
bertahta di pulau Sepudi. Beliau menggantikan Tumenggung Gajah Pramodo alias
Secadiningrat (1366-1386).
Tidak jelas alur kisahnya, kenapa sampai
digantikan Pulangjiwo.
Menurut catatan Zainalfattah, Pulangjiwo
pernah menjadi kuasa (ronggo) di Pamekasan. Kala itu Madura merupakan menjadi
bagian Majapahit.
Dalam beberapa catatan silsilah di Sumenep,
Pulangjiwo disebut putra Sunan Lembayung Fadhal. Lembayung Fadhal bernama lain
Sayyid Ali Murtadla. Beliau juga dikenal sebagai Raja Pandita di Gresik.
Raja Pandita merupakan kakak atau saudara
tua Sunan Ampel Denta, Surabaya, Imam Wali Sanga.
Blingi, Pemimpin Para Wali Sepudi
Menurut keterangan di Museum Keraton
Sumenep, Pulangjiwo bertahta di Sumenep pada 1386-1399. Pulangjiwo dikenal
dengan nama Panembahan Blingi.
“Disebut Blingi, artinya pemimpinnya reng
Balli (orang perpangkat Waliyullah) di pulau ini,” kata H. Abdurrahman,
penjaga pasarean Panembahan Blingi, di Pulau Sepudi, beberapa tahun silam.
Pulau Sepudi merupakan anggota gugusan
pulau di kawasan Kabupaten Sumenep Madura. Warga setempat menyebut pulau ini, Poday.
Dalam buku Babad Songennep (1914)
karya Raden Werdisastra, nama Panembahan Blingi atau Balinge memang disebut
sebagai sesepuh di Pulau Sepudi.
Istilah Panembahan di sini sejatinya perlu
dikaji ulang. Karena pada umumnya, Panembahan ialah gelar bagi penguasa
kerajaan Islam. Nah, apakah benar di Sepudi dahulu adalah kerajaan?
“Kalau merujuk babad, itu masa berdirinya
Majapahit. Sehingga penggunaan gelar penguasa Islam masih belum populer. Dan
untuk Sepudi memang belum bisa dipastikan sebagai salah satu pusat
pemerintahan,” kata M. Hairil Anwar, pemerhati sejarah di Sumenep.
Babad Songennep menyebut Panembahan Blingi sebagai ayah dari dua bersaudara pertapa
sakti: Adipoday dan Adirasa. Adipoday adalah ayahanda Jokotole alias Pangeran
Saccadiningrat III, adipati Sumenep yang keratonnya di Lapa, Dungkek (meski ada
pendapat lain yang membantahnya).
Blingi atau Balinge, ejaan aslinya ialah
Wlingi atau Walinge. Seperti disebut di atas bermakna kumpulan para Waliyullah.
Namun bahasa Madura memang tidak
menggunakan huruf “w” kecuali sebagai pelancar. Seperti sawah, menjadi saba;
perwira menjadi parbira; sawo menjadi sabu; dan lain sebagainya.
Sehingga Wlingi atau Walinge pun dilafalkan Blingi atau Balinge.
Kendati berada di pulau yang mesti
diseberangi dalam waktu 2 hingga 3 jam perjalanan laut dari Pelabuhan
Kalianget, pasarean Panembahan Blingi di Sepudi ramai peziarah. Tidak hanya
dari Madura, namun juga dari Jawa dan luar Jawa.
“Tidak sedikit yang karena memiliki niat,
misalnya jika punya hajat yang tercapai akan berziarah ke sini,” kata H. Mang,
panggilan Abdurrahman.
Pasarean Panembahan Blingi memiliki bentuk
khas. Jirat dan badan makam terbuat dari kayu. Sepintas mirip perahu. Menurut
Haji Mang, sejak dirinya masih kecil, kondisi makam tak mengalami pemugaran.
“Dari kayu jati. Kalau setahu saya itu
sudah mulai dari dulu begitu,” katanya.
Babad Songennep menyebut Panembahan Blingi
sebagai ayah dari dua bersaudara pertapa sakti: Adipoday dan Adirasa.
Adipoday adalah ayahanda Jokotole alias
Pangeran Saccadiningrat III, Raja Sumenep di 1415-1460.
(Tulisan ini pernah tayang di
matamaduranews.com, tanggal 19 Mei 2020)
Ng
0 Komentar