Tasbih Adipoday

 

Kolase Makam Adipoday di Sepudi, Sumenep, dan ilustrasi buah Nyamplung. (Ngoser)

Ngoser.ID – Adipoday, nama yang begitu dikenal di Madura, khususnya Sumenep. Tokoh yang melegenda ini jejaknya masih bisa dilihat di sebuah pulau kecil, yang merupakan bagian dari kabupaten Sumenep. Pulau Sepudi namanya. Orang setempat menyebutnya Poday.

Dalam kisah babad, Adipoday merupakan seorang petapa sakti yang mengukir sejarah di ujung Timur nusa garam. Lahir dari kalangan keluarga ulama. Secara genealogi, ia masih merupakan anggota saadah (kata jamak dari gelar sayyid). Catatan silsilah di Sumenep menyebut ayah Adipoday ialah Ario Pulangjiwo, yaitu salah satu anak Sayyid Ali Murtadla, saudara tua Suhunan Ampel (Sayyid Ahmad Rahmatullah).

Menjadi Menantu Gaib Raja Sumenep

Di suatu masa, sekitar abad 15, ruang paseban keraton Sumenep geger. Sang Nata gundah gulana. Penyebabnya memang bukan perkara main-main. Sang putri semata wayang, yang sekaligus Sekar Kedaton alias putri mahkota dikabarkan hamil.

Kabar hamil memang baik. Namun masalahnya, sang putri yang bernama Raden Saini atau yang populer disebut Raden Ayu Putri Kuning alias Radin Aju Pottre Koneng itu belumlah bersuami. Kabar baik itu tentu saja berubah menjadi aib besar.

Saat diinterogasi secara khusus, Sang Putri bersikukuh tidak melakukan hal-hal yang melanggar ketentuan agama. Namun secara akal sehat, alasan hamil sang putri memang tak bisa diterima. Ia mengaku hanya didatangi oleh seorang pria tampan yang mengenalkan diri sebagai pertapa dengan nama Adipoday. Itu pun dialami dalam mimpi. Tak lama kemudian, sang putri hamil.

Singkat cerita, sang putri pun melahirkan. Dalam kisah babad, yang lahir seorang laki-laki. Tubuhnya bersinar. Namun karena dikhawatirkan menjadi masalah, bayi tampan dan sehat itu dibuang. Lokasi pembuangan di Pakandangan, Bluto. Di dekat kandang sapi seorang pandai besi (pandi) bernama Mpu Kelleng.

Bayi itu pun ditemukan sang empu dan isterinya yang memang tidak dikaruniai anak. Awal penemuannya begitu unik. Mpu Kelleng diceritakan punya seekor sapi perah. Sapi itu seakan ada yang menuntun, setiap hari selalu keluar kandang dan menuju lokasi bayi Pottre Koneng. Sang bayi disusuinya. Lalu selepas itu balik kandang.

Sang Mpu, curiga. Karena setiap hari, susu sapi itu kempes. Akhirnya setelah dilacak, diketahuilah jika susu sapi itu habis diminum bayi Pottre Koneng. Bayi itu lantas diambil dan dibawanya pulang dengan gembira. Kemudian diangkatnya sebagai anak, dan dinamainya Jokotole.

Dalam babad, ternyata memang Jokotole selalu diawasi oleh ayah. Yaitu “menantu gaib” raja Sumenep, Sacca Adiningrat alias Wagung Ru’yat. Kisahnya ditulis dengan apik oleh Raden Werdisastra, termasuk bertemunya Adipoday dengan Pottre Koneng di masa Jokotole dewasa.

Tasbih, dan Pohon Nyamplong

Setelah Jokotole dewasa, Adipoday menjemput Pottre Koneng ke Sumenep. Sang putri diboyongnya ke Sepudi. Peristiwa itu diabadikan dalam buku Babad Songennep, dan buku tulisan RTA Zainalfattah Notoadikusumo yang berjudul “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan Di Daerah-Daerah Di Kepulauan Madura Dengan Hubungannja”.

Adipoday lantas menggantikan ayahnya, Pulangjiwo sebagai Panembahan di Sepudi. Pulangjiwo memang merupakan kuasa pemerintahan di pulau tersebut. Awalnya beliau ditugaskan sebagai kuasa pemerintahan di Pamekasan oleh Kerajaan Majapahit.

Setelah wafat, Pulangjiwo dimakamkan di Sepudi. Beliau dikenal dengan gelar Panembahan Blingi. Menurut juru kunci gelar tersebut dikarenakan Pulangjiwo di masanya dikenal sebagai pemimpin para wali atau para balli dalam bahasa Madura. Blingi berasal dari kata Balli atau Wali.

Setelah mengganti ayahnya, Adipoday bergelar Panembahan Wirokromo (namun di kalangan masyarakat Sepudi, Wirokromo adalah nama lain Panembahan Blingi). Gelar lainnya ialah Panembahan Poday.

Di Poday, keseharian Panembahan Adipoday hanya berdzikir. Kebiasaannya ialah memakai tasbih yang dibuatnya dari untaian buah pohon Nyamplong (Nyamplung) atau Camplong. Beliau pun kemudian menganjurkan rakyat di Poday dan kiai-kiai di sana mengikuti kebiasaannya. Akhirnya mulainya diperbanyak menanam pohon Nyamplong di pulau tersebut.

Lambat laun, setelah pohon nyamplong semakin banyak, masyarakat tidak hanya memanfaatkan buahnya sebagai tasbih dzikir, namun juga batang kayunya untuk bahan perahu.

Nama lantas Panembahan Poday begitu terpatri di benak masyarakat Poday secara turun-temurun. Penghormatan kepada ayah Jokotole itu mengakar pada pribadi sang Panembahan yang dikisahkan sangat arif dan besar jasanya dalam penyebaran Islam di Poday dan sekitarnya. Beliau tak hanya sebagai penguasa yang bijaksana, namun sekaligus juga ulama yang santrinya hingga tanah Jawa.

Saat ini pasarean Adipoday di desa Nyamplong menjadi semacam pepunden orang-orang seluruh Madura dan daerah-daerah pesisir Jawa Timur. Makamnya dikenal dengan Asta Nyamplong, konon terletak di bekas kediaman Panembahan Adipoday yang dulunya dikenal dengan Keraton Nyamplong.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar