Tongtong, Kiai Macan Ambunten, dan Ratu Sima

 

Potret pesisir dan salah satu muara di perairan Ambunten pada 1940. (Koleksi Tropenmuseum)

Ngoser.ID – Sosok bercahaya dan memancarkan kharisma agung itu tersenyum saat puluhan warga bersimpuh di halaman pendapa kademangan Ambunten, kala itu. Beliau lantas mengambil sebuah potongan bambu dan dipukulnya pelan dengan sepotong kayu. Mungkin  semacam kentongan kecil, atau tong-tong kata orang Sumenep. Bunyinya pelan tapi menggetarkan jiwa. Seakan membentuk melodi yang merdu. Melodi yang seolah menyingkap tabir rahasia Ilahi. Seluruh hadirin di situ diam. Seperti terhanyut oleh bunyi yang rasanya menembus sanubari.

Belum selesai dengan keanehan yang dirasa berasal dari bunyi pertemuan sepotong kayu dan bambu itu, seluruh yang hadir terkejut saat tiba-tiba muncul beberapa kawanan manusia mulai dari yang bertampang biasa saja hingga beringas. Kawanan beserta bawaannya itu datang dari arah pintu gerbang kademangan. Hampir semua mata membidik apa yang dibawa kawanan itu. Semua terhenyak sejenak. Sejurus kemudian beberapa hadirin hampir berteriak dan sekaligus bangkit. Namun gerakan itu tertahan. Sadar. Bahwa sejatinya mereka tengah berada di kawasan dalem Wali Agung sekaligus penguasa bumi Ambunten kala itu. Akhirnya mereka pun melanjutkan diamnya, dan memilih melihat apa yang bakal terjadi selanjutnya.

“Ampun Kangjeng Kiai, hamba bertobat, ” kata salah satu kawanan yang datang itu, tepat di hadapan Kangjeng Kiai Demang Singaleksana, atau yang dikenal dengan Kiai Macan Ambunten, sosok berwibawa yang menabuh potongan bambu tadi.

“Bertobat jangan padaku, tapi pada Gusti Allah. Sekarang kembalikan semua barang curian kalian itu pada pemiliknya,” dawuh Sang Kiai. Kawanan yang rupanya paduan para pencuri dan perampok dari masing-masing kelasnya itu menuruti, ta’zhim.

Pasarean Kiai Singaleksana di Kampung Guwa, Ambunten Tengah. (Ngoser)

Ilustrasi di atas merupakan kisah nyata yang melegenda tentang sosok “Ratu Simanya Madura”. Kenapa disebut demikian? Dahulu, di tanah Jawa, ada sebuah kerajaan bernama Kalingga. Penguasanya seorang Ratu bernama Sima. Ratu yang adil, bijaksana, dan berwibawa. Satu hal yang paling dikenal dari Kalingga, yaitu keamanan warganya. Tidak ada orang yang berani mengambil hak orang lain, baik sembunyi-sembunyi, apalagi terang-terangan. Bahkan, pernah sepundi besar berisi emas dan permata diletakkan di jalanan oleh pemiliknya selama berhari-hari. Namun tak satupun orang yang berani, meski hanya meliriknya saja.

Kisah itu ternyata juga terjadi di Ambunten. Sebuah kawasan pinggiran, yang dahulu merupakan lokasi strategis, karena terletak di pesisir pantai utara (pantura) selaku jalur utama keraton Sumenep. Dahulu, pintu gerbang perbatasan terletak di Sotabar (sekarang masuk Pasean, Pamekasan). Kawasan tersebut dipercayakan kepada Raden Sutojoyo, putra Pangeran Macan Alas Waru Pamekasan, yang masih bersaudara dekat dengan Raden Bugan alias Pangeran Macan Ulung alias Pangeran Yudonegoro, Raja Sumenep paruh kedua abad 17. Ibunda Macan Ulung, yaitu Raden Ayu Pacar masih saudara sepupu Pangeran Macan Alas Waru.

Kembali pada kisah di atas, apa yang terjadi di Kalingga—yang secara geografis juga terletak di kawasan pantai utara Jawa Tengah—mirip dengan kisah tutur yang melegenda di Ambunten itu. Di masa tersebut Ambunten dipimpin oleh pejabat berpangkat kepala atau demang. Kepala ini jika sekarang setingkat wali kota. Karena waktu itu Sumenep merupakan sebuah negara. Kendati berada di bawah bayang-bayang kolonial setelah sebelumnya menjadi vazal (negeri taklukan) Mataram. Sumenep sempat lepas dari keduanya, di masa Pangeran Trunajaya menaklukkan Mataram, yaitu di masa Pangeran Macan Ulung.

Yang menjabat demang pertama di situ ialah Raden Demang Singawangsa, yaitu ayah Kiai Macan atau Kiai Demang Singaleksana. Singawangsa dari garis ayahnya adalah cicit Raden Sutojoyo, sedang dari garis ibunya ialah cucu Pangeran Pulangjiwa, Raja Sumenep yang menggatikan Pangeran Yudanegara (Macan Ulung). Posisinya sebagai demang tidak seperti biasanya. Sejak masa itu Ambunten masuk wilayah Mardikan atau Perdikan. Wilayah Mardikan ini merupakan daerah istimewa, karena dibebaskan dari pajak. Beberapa daerah mardikan lainnya seperti Batuampar, dan Barangbang.

Konon, status tersebut tidak bisa lepas dari sosok Kiai Macan yang sangat disegani bahkan oleh Raja Sumenep kala itu. Di samping memiliki garis kerabat dekat dengan keluarga keraton, sang Kiai juga dikenal sebagai ulama dan waliyullah besar. Tokoh yang mampu memadukan kekuasan dengan kewaliyan. Sehingga tak salah semat Ratu Simanya Madura ini. Meski bukanlah Ratu secara de jure, secara de facto kedudukan Kiai Macan yang dituakan oleh Raja menunjukkan kapasitas ketokohannya yang melampaui jabatan keduniawiannya. Secara ruhani, ketokohannya yang diselimuti karomah, menguak tabir rahasia kedudukannya dalam Pandangan Ilahi.

KH Ali Muqit, salah satu peziarah di pasarean Kiai Singaleksana. (Ngoser)

Untuk hal-hal pelik, keraton Sumenep memang dikisahkan selalu meminta pandangan dan masukan dari Kiai Macan. Bahkan dalam hal yang kaitannya dengan eskpedisi perang. Konon beliau juga dikenal menguasai seni perang. Salah satu ekspedisi yang dikenal melibatkan Kiai Macan ialah ekspedisi perang ke tanah Aceh.

Jika melihat angka tahun wafat beliau di Pasareannya di Kampung Guwa Desa Ambunten Tengah, yakni 1284 Hijriah, kemungkinan beliau hidup di masa Sultan Abdurrahman Pakunataningrat. Ekspedisi itu bisa jadi juga bersamaan dengan keberangkatan Pangeran Le’nan Hamzah, salah satu putra Sultan Sumenep.

Ekspedisi ini menyisakan banyak jejak sejarah. Di antaranya hadirnya seni Shalawat Sintung yang konon dibawa oleh Kiai Macan pasca lawatannya dari Serambi Mekkah itu. Juga termasuk info aktual bahwa pemimpin pasukan ekspedisi Sumenep justru di Aceh dikenal sebagai ulama yang mengajar ngaji.

Mengenai Sintung, seni ini kini memang hidup di Ambunten. Salah satu yang melestarikan ialah almarhum KH Suhil Imam. Versi lain, selain Kiai Macan, yang ikut mempopulerkan Sintung di bumi Sumekar ialah Kiai Parongpong, Kecer, Dasuk.

Nah, di masa Kiai Macan ini pula peradaban besar Sumenep bisa dikatakan terbentuk, sekaligus mengakar dari bumi Ambunten. Meski tidak sampai mempengaruhi wilayah di luar Ambunten, namun kisah karomah Kiai Macan menghadirkan para pencuri dan perampok yang meresahkan warga, sekaligus dengan membawa kembali barang curiannya, membuat kawasan Ambunten dahulu sangat disegani.

“Siapapun lantas tak ada yang berani mencuri atau mengambil yang bukan haknya. Karena jika berani bakal sia-sia, kendati ia sembunyi hingga keluar Ambunten. Bunyi kentongan Kiai Macan membuat mereka dengan tidak sadar menyerahkan diri sekaligus barang curiannya. Kala itu, pintu-pintu rumah tak perlu dikunci rapat, atau barang berharga tak perlu disembunyikan. Diletakkan di mana saja, kendati di jalanan, tak ada satu orang pun yang berani mengambil selain pemiliknya, ” kata R. Imamiyah, salah satu warga Ambunten yang masih memiliki garis nasab hingga Kiai Macan.

Kini bunyi kentongan Kiai Macan tak hanya dirindukan oleh warga Ambunten. Namun oleh kawasan lain di Sumenep, Madura, hingga Nusantara. Meski memang sejarah belum melahirkan Ratu Sima-Ratu Sima lain dan Kiai Macan-Kiai Macan lain, namun jejak gemilang yang diukir keduanya terus terpatri dan membentuk romantisme sejarah di kalangan generasi setelahnya. Romantisme yang penuh harap: Tuhan turunkan kembali karomahNya melalui para KekasihNya.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar