Kiai Imam, dan Pusaka Pandian yang Tenggelam

Potret udara kawasan Asta Kiai Imam di Panyangagan, Desa Pandian, Kecamatan Kota Sumenep. (Foto: Ng) 


Ngoser.ID – Kompleks pemakaman umum di Desa Pandian itu sejak zaman doeloe dikenal dengan nama Panyangagan. Lokasinya di bagian barat jalan yang kini bernama Jalan Pahlawan. Nama Panyangagan juga sudah mulai luntur. Generasi jaman kini lebih karib dengan kompleks makam Pahlawan. Karena di bagian utara area pemakaman umum itu ditempati makam para pejuang Sumenep.

Di masa lampau, kompleks pemakaman umum Panyangagan ini dikenal angker. Selain sepi karena memang jauh dari perkampungan atau rumah penduduk, area pemakaman memang dijauhi kumpulan orang untuk cangkruan atau nongkrong. Jangankan malam hari, siang saja, suasana di kompleks tersebut acap membuat bulu kuduk tegak. Tapi itu dulu, mungkin hingga akhir dasawarsa 1990-an, atau jelang masuknya era Milenium. Menyempitnya lahan kosong akibat pertumbuhan pembangunan mungkin bisa jadi salah satu sebab hilangnya kesan angker di area keramat itu. Pasalnya, di sekitar kawasan itu sudah menjelma menjadi perumahan penduduk yang mulai padat-rapat. Sekaligus menjadi area lalu-lalang, membuat sepi didesak ramai.

Di area pemakaman Pacangagan itu banyak disemayamkan tokoh-tokoh besar Sumenep di masanya, seperti Kiai Imam (ulama sekaligus pandai keris), Kiai Murkali atau Gung Macan (juga salah satu pandai keris di perbatasan Desa Pandian dan Karangduak), Raden Ardikusumo (ulama dari kalangan bangsawan Sumenep yang dikenal keramat), dan di periode akhir ada nama K. H. Zainal Arifin dan K. H. Usymuni (keduanya ayah anak berasal dari Desa Pandian), K. H. Ahmad Bakri (juga dari Pandian), dan tokoh-tokoh lainnya yang juga esareyagi (dimakamkan) di area tersebut. Tokoh pertama yang disebut di paragraf ini merupakan tokoh yang diulas di edisi ini: Kiai Imam.

Asal-Usul

Nama Kiai Imam di Pandian, Sumenep, hampir tak disebut di catatan sejarah kuna maupun babad di bumi Sumekar. Nama beliau hanya disebut dalam riwayat lisan turun-temurun di Sumenep, sebagai salah satu guru Kiai Abdurrahman alias Kiai Raba di Pamekasan (klik tautan 1 dan 2). Kiai Raba yang putra Sendir dan melegenda kisah kehidupannya di kedua poros Tengah-Timur pulau Madura. Pasalnya, Kiai Raba dikenal sebagai paman dan ayah angkat Entol Bungso atau Bindara Bungso, ayah Bindara Saut, penguasa legendaris Sumenep sekaligus pembuka dinasti terakhir di sini.

Kolase pasarean Kiai Imam sebelum berganti kijing keramik (kanan) dan setelahnya. (Foto: Ng) 

Menurut riwayat kalangan keraton, saat kecil Kiai Raba memang dititipkan pada Kiai Imam oleh ayahnya, yaitu Kiai Abdullah Sendir.

Kiai Imam dikenal sebagai sosok yang waskita dan linuwih.  Beliau dikenal sebagai salah satu waliyullah besar di masanya. Konon, Kiai Raba kecil sudah diramalkan beliau sebagai calon waliyullah agung di Madura.

Di masa kecilnya Kiai Raba memiliki kebiasan mengadu anjing dan celeng. Kiai Imam lantas menegur dengan berkata, “wahai Abdurrahman, seandainya bumi ini perahu, engkau adalah tiangnya". Abdurrahman merupakan nama kecil Kiai Raba.

Ucapan Kiai Imam di kemudian hari memang menjadi kenyataan. Kiai Raba menjadi tokoh ulama besar dan disegani oleh bumi Gerbang Salam. Sang Raja Pamekasan di masa itu menghormatinya, dan menganugerahi tanah perdikan Raba kepada beliau.

Satu-satunya tulisan masa lampau yang mengutip nama Kiai Imam ialah buku susunan Raden Tumenggung Ario Zainalfattah, mantan bupati Pamekasan yang juga sekaligus ahli sejarah dan kebudayaan Madura. Buku tersebut merupakan literatur tentang sejarah senjata pusaka (tosan aji) di Madura. Dalam buku itu, Kiai Imam disebut sebagai salah satu empu atau pandai keris di Sumenep. Pusaka karya Kiai Imam juga dikenal sebagai jenengan Pandian.

Diperkirakan masa pembuatannya setelah masa Empu Barama (Brama), murid Kiai Supo Mandrangi, iparnya Sunan Kalijaga. Jadi bedanya, kalau sebelum Kiai Imam, pusaka Pandian dikenal dengan Barama.

Namun meski dikenal sebagai pandai keris, saat ini sudah tidak bisa lagi ditemukan peninggalan pusaka ciptaan Kiai Imam. Kemungkinan, beliau tidak begitu banyak membuat keris atau pusaka. Dan mungkin juga sudah pindah tangan ke tangan hingga keluar dari Sumenep. Pusaka Pandian yang ada merupakan peninggalan Kiai Barama, dan Kiai Murkali. Sedangkan buatan Karangduak ialah pusaka Yudagati dan Trisnagati.

Pasarean wali sepuh di Sumenep itu terletak dalam sebuah kompleks tanpa atap. Posisinya di sebelah timur makam Gung Macan atau Kiai Morkali. Di area berpagar yang hanya ada satu deret makam kuna itu, posisi pasarean Kiai Imam berada di posisi kedua dari ujung timur. Hingga kurang lebih satu tahun silam, pasarean Kiai Imam masih bercorak kuna, dengan nisan khas tempo doeloe, tanpa badan kijing. Hanya ditinggikan sekitar 5 cm dari permukaan tanah. Namun kini sudah berubah dengan dikeramik. Tak jelas yang memugarnya.

Asal-usul sekaligus muasal dari tokoh ini masih sulit diketahui. Sekelumit kisah tentang beliau seperti yang disebut di muka, hanya berasal dari riwayat lisan turun-temurun keluarga keraton Sumenep.

Yang bisa dilacak, meski perkiraan saja, Kiai Imam hidup di paruh kedua 1500-an atau paruh awal 1600-an Masehi. Masa itu Sumenep di bawah kepemimpinan Pangeran Anggadipa, dari Jepara. Perkiraan itu berdasar riwayat bahwa Kiai Raba kecil berguru pada beliau. Masa Kiai Raba sebelum masa Bindara Bungso atau Kiai Abdullah Batuampar, ayah Bindara Saut, penguasa Sumenep yang mangkat pada 1762 Masehi.

Info tutur juga menyatakan bahwa Kiai Imam sezaman dengan Kiai Panglegur. Mengenai sosok Kiai Panglegur bisa dilihat di edisi sebelumnya. Klik di sini

Sekelumit Kisah Karomah

Info Kiai Imam sezaman dengan Kiai Panglegur bersanding dengan sebuah kisah.

Suatu waktu, Kiai Imam bertamu ke kediaman Kiai Panglegur. Kiai Imam lantas meminta suguhan ikan kepada Kiai Panglegur. Kiai Panglegur kemudian menebar jala ikan di halamannya, dan di luar nalar, jala itu penuh dengan ikan hidup.

Ikan itu kemudian dimasak dan dihidangkan. Setelah selesai dimakan, oleh Kiai Imam, tulang belulang ikan itu dilemparkannya ke sebuah kolam di dekat rumah Kiai Panglegur, atas izin Allah ikan tersebut hidup lagi.

Kisah tersebut mirip dengan kisah Kiai Macan Ambunten (Raden Demang Singoleksono) dan Kiai Rausyi. Konon tulang belulang ikan yang dilempar oleh Kiai Rausyi, hasil tangkapan Kiai Macan dengan menebar jala ikan di halamannya, hidup lagi dan sering terlihat oleh sebagian orang di sumber air Pandi Ambunten. Kisahnya bisa dibaca dengan klik tautan ini.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar