Di Balik Gunungan Wayang Pusara Eyang

Kolase potret gunungan makam kuna di Madura. (Foto: Mamira.ID dan Ngoser.ID) 


Ngoser.ID – Leluhur kita memandang kuburan bukan sekadar gundukan tanah, apalagi di dalamnya tersimpan jasad orang yang pernah ditokohkan dan mempunyai peran besar di masyarakat. Orang Madura lazim menyebut makam tua itu dengan sebutan “koburan karamat” (kuburan atau makam keramat). Di kompleks makam keramat umumnya kijing makam dihias sedemikian rupa, penuh dengan makna simbolik.

Ada beberapa tujuan kijingan dibuat. Selain berfungsi sebagai penanda agar makam tidak lenyap, pemakaian kijing juga dimaksudkan untuk menghormati para leluhur di masa hidupnya.

Dalam kebiasaan masyarakat di Nusantara, tradisi membangun kuburan lumrah bahkan dianggap sebagai bagian dari budaya leluhur mereka.  Anggapan demikian menurut Hairil Anwar, anggota Komunitas Sumenep Tempo Dulu merupakan hal yang tak dapat dibantah.

Ia menjelaskan bahwa tradisi menandai makam leluhur sebenarnya merupakan kelanjutan budaya megatilik yang pernah berkembang di hampir sebagian besar wilayah Indonesia. “Nenek Moyang kita dulu mengenal tradisi kubur batu, biasanya batu-batu disusun sedimikian rupa, lalu beberapa bagian ada yang dipahat dengan simbol tertentu”.

Menurut Ayu Kusumawati dalam Majalah Forum Arkeologi II (1999-2000), pembuatan pahatan dengan pola hias pada kubur batu erat kaitannya dengan alam kematian.

Tradisi unik itu rupanya tak hilang  begitu saja, bahkan berlanjut hingga abad ke-19. Tak mengherankan jika sebagian besar  makam keramat di Jawa dan Madura, kijing atau jiratnya kaya dengan ragam ornamen.

Seperti halnya makam para bangsawan yang ada di Pulau Madura. Cungkup, kijing dan nisannya dipenuhi dengan hiasan bermacam rupa. Yang unik dan menjadi khas adalah penggunaan “gunongan” (gunungan), yaitu ornamen menyerupai bentuk gunung yang diletakkan sejajar dengan kijing, tepatnya pada bagian “sera” atau kepala dari jasad yang dikuburkan.

Terbuat dari batu yang keras, gunongan mempunyai ukuran yang cukup beragam, umumnya dibangun lebih tinggi dari batu nisan. Bentuknya beraneka rupa, ada yang menyerupai kelopak daun, namun tak sedikit yang berbentuk setengah lingkaran.

Bak kayon atau gunungan wayang kulit, bagian pelengkap makam itu juga dibubuhi ornamen berbagai motif, seperti sulur-suluran dan juga binatang. Semua motif  yang dipahat pada batu itu menggambarkan kehidupan surgawi.

Di kompleks Makam Asta Tinggi Sumenep, kadang ada pula gunongan yang dibubuhi motif kalakirtimuka. Sosok makhluk raksasa yang sering ditemukan di atas pintu masuk candi. Bedanya sang penjaga hutan itu, tak digambarkan secara utuh, namun sudah mengalami proses stilir.

Semua motif yang disematkan pada gunongan dibuat bukan tanpa alasan. Bukan hanya untuk menambah nilai estetik pada bangunan makam, dibalik taswir yang indah terdapat harapan dan pesan yang ingin disampaikan.

(Diambil dari situs website sumeneptempodulu.or.id, judul asli “Gunungan Wayang menghiasi makam-makam tua di Madura”, dengan sedikit perubahan)

Faiq Stedu/Ng

Posting Komentar

0 Komentar