Langgar atau Musalla peninggalan Keraton Sumenep di Pajagalan (Foto/Ngoser.ID)
Ngoser.ID - Luas musalla atau langgar diperkirakan 8
x 8 meter persegi. Untuk menuju ke lokasi lebih dekat lewat Jalan Gotong
Royong, lalu masuk ke arah barat di sebuah gang sempit, tepat di belakang
Kantor Disbudporapar Kabupaten Sumenep. Satu-satunya gang di jalan tersebut.
Sehingga jika ditarik lurus, posisi bangunan sejajar dengan
bangunan keraton lama di arah timurnya, dipisah oleh jalan dan lapangan
kesenian (disebut juga lapangan gotong royong).
Keraton lama atau dikenal dengan Panyeppen. Sebuah bangunan
kuna peninggalan Ratu Tirtanegara dan Bindara Saot, sekaligus tempat kediaman
beliau berdua di masa pemerintahannya (1752-1762 M).
Dewasa ini, Panyeppen masuk kawasan utama area Keraton
Sumenep. Posisinya sudah didesak oleh bangunan Kantor Koneng atau Koninklijk
(Kantor Kerajaan atau Kadipaten) yang dibangun di era Sultan Abdurrahman
Pakunataningrat (1811/1815-1854 M), sehingga tidak bisa dilihat langsung dari
depan. Sedangkan pendapanya dipindah ke Asta Tinggi.
Sementara terus ke arah barat gang, jalannya tembus ke Pasar
17 Agustus di Utara alun-alun (Taman Adipura). Sehingga jika ditarik ke barat,
posisi langgar hampir sejajar dengan bangunan Pangkeng Malang, yang berada di
bekas rumah Lau Piango, salah satu tokoh yang terlibat langsung dalam
pembangunan Masjid Jami' Keraton di paruh kedua abad 18 Masehi. Rumah Lau
berada di area Pasar 17.
Kembali pada langgar, saat ini berada dalam pemeliharaan
salah satu keluarga keturunan Bindara Saot, yang kebetulan menempati rumah di
Utara langgar. Di belakang rumah tersebut berdiri bangunan pertokoan dan sebuah
hotel, tepat di pinggir selatan jalan protokol, Jalan Jenderal Sudirman.
Menurut keterangan para sepuh, pasca Bindara Saot musalla tersebut biasa digunakan dalam beragam acara keagamaan seperti peringatan haul, tradisi bellesen (peringatan haul Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Sulthanul Awliya'), dan lainnya.
(Bersambung)
0 Komentar