Diponegoro dan Terkuaknya Kisah Versi Sumenep: Ternyata Sang Pangeran Tak Pernah Bisa Ditangkap Belanda

Ilustrasi Perang Diponegoro. (Foto Istimewa/Koleksi Peter Carey)


Ngoser.ID - Sejarah memang selalu dinamis. Itulah sebabnya dalam perkembangannya, sejarah tak pernah berhenti di satu titik. Ia terus ditulis, bahkan hingga akhir zaman.

Dalam edisi kali ini, ngoser.id mencoba menyingkap tabir tentang sejarah Pangeran Diponegoro yang penuh dengan berbagai kisah. Namun sesuai judul, kisah yang tertuang di media ini diangkat dari versi keluarga Keraton Sumenep.

Kisahnya bahkan lebih dinamis dari kisah seribu satu malam. Hal itu tidak bisa lepas dari berbagai keunikan sosok Diponegoro, yang kaya akan ribuan sisi dari setiap kepribadiannya yang menakjubkan.

Dilahirkan dan hidup sebagai seorang putra utama dari raja yang berkuasa di tanah kelahirannya, tak membuat sang pangeran ini terlena dengan kehidupan serba mudah sekaligus serba mewah. Kisah hidupnya memang sedikit beda dengan raja legendaris Mangkunegaran, Pangeran Sambernyawa alias KGPAA Mangkunegoro I. Meski lebih banyak kesamaannya.


Baca juga: Jejak Khalwat di Balik Nama Kasengan


Jika Sambernyawa yang bernama asli Raden Mas Said itu hidup mandiri dan selalu diawasi—baik oleh pamannya selaku raja Surakarta maupun kompeni—karena memang ditinggal sang ayah yang dibuang karena sebuah intrik, maka Diponegoro lain lagi. Diponegoro seperti halnya Mas Said juga ditempa dengan siraman pendidikan yang mumpuni, namun justru bukan dari kalangan yang “terbuang”.

Mas Said terbentuk karakternya, dengan latihan keras, karena memang tidak ada tempat bergantung di istana selain memaksimalkan kemampuan dirinya. Bangkit dengan tempaan alam, meski musuh di kanan kiri, sekaligus depan belakang.

Diponegoro meski tak sebatangkara sebagaimana saudara sepupu kakeknya itu, namun ia dididik dan menerima tempaan alam yang sama. Kesamaan keduanya ialah kecerdasan dan ketangkasan yang mengakar kuat dari dalam. Di samping kharisma yang tinggi, semangat serta bakat kepemimpinan yang menonjol. Ditambah kesamaan selanjutnya, sama-sama anti penjajah, yang sukar ditundukkan hingga akhir hayatnya.

Diponegoro tak pernah ditangkap Belanda

Dalam sejarah umum disebut bahwa Diponegoro berhasil ditangkap oleh Belanda dengan sebuah muslihat. Di sebuah malam di bulan Ramadlan, Belanda yang mengundang sang pangeran untuk sebuah kompromi berupa perundingan damai, ternyata diciderai oleh kelicikan bangsa kulit putih itu. Diponegoro yang datang tanpa senjata, justru tidak dibiarkan meninggalkan lokasi perundingan. Perundingan itu sejatinya perangkap yang berujung penangkapan pemimpin perang Jawa (1825-1830) itu.

Lantas Diponegoro oleh kompeni diasingkan ke Makassar hingga wafat di sana pada 1855 M. Jenazah beliau tidak dikembalikan ke tanah tumpah darahnya. Melainkan dikubur di sana, dipugar ratusan tahun setelahnya. Dan ditetapkan sebagai pahlawan NKRI.

Sejarah tersebut merupakan sejarah yang sudah bersifat umum. Namun di belakang hari, informasi-informasi seputar pejuang tangguh, yang oleh Belanda disebut pemberontak itu muncul ke permukaan. Seperti salah satunya kisah sang pangeran di bumi Sumenep.

“Sejatinya, kisah Diponegoro, khususnya di Sumenep sudah masuk kurikulum pendidikan di era kolonial meski tak resmi,” kata H. R. B. Nurul Hamzah, salah satu sesepuh keluarga keraton Sumenep beberapa waktu silam.

Haji Nono atau Gus Nono, merujuk pada riwayat ayahnya, almarhum RP Abd Sukur Notoasmoro, budayawan senior sekaligus praktisi bahasa Madura legendaris Sumenep.


Baca juga: Misteri Sang Pejuang yang Terbuang Sayang


“Menurut riwayat dari ayah saya, kisah Diponegoro banyak dibawakan oleh guru-guru sejarah ‘Sekolah Pergoeroean Noesantara’ di Sumenep,” katanya.

Dalam situasi yang serba tidak aman dalam menyampaikan pendapat itu, para guru di dekade ketiga kurun 1900-an itu, memang menyelipkan kisah-kisah perjuangan. Atau pentingnya perjuangan dalam setiap mata pelajaran.

“Dulu mulai ditanamkan bahwa politik devide et empera Belanda sangat berbahaya, dan selalu ampuh. Termasuk bagaimana Belanda merenggangkan hubungan Sultan Sumenep dengan mertuanya, Kangjeng Kiai Adipati Semarang, yaitu Suroadimenggolo V yang anti penjajah,” kata Gus Nono.

Sekitar tahun 1820-an, di mana ketegangan hubungan Diponegoro dengan Belanda semakin memuncak, berimbas pada Sumenep. Pasalnya, mertua Sultan, Suroadimenggolo V justru selalu memihak pada Diponegoro.

Ketika Perang Diponegoro pecah, Belanda yang kesulitan mengatasi perlawanan putra utama Hamengku Buwono III itu, konon harus meminta bantuan Sumenep.

“Awalnya bukan permintaan bantuan secara langsung. Melainkan Kompeni memberikan informasi yang sifatnya adu domba. Dikatakanlah jika Diponegoro bermaksud merampas hak adiknya yang yatim sebagai putra mahkota. Ditambah lagi bahwa Diponegoro didukung penuh oleh Suroadimenggolo V,” kata Haji Nono.

Bukan tanpa alasan Belanda “menyeret” nama Suroadimenggolo V dalam pusaran perang Jawa. Sang adipati yang dikenal dengan panggilan Kangjeng Kiai itu memang acapkali menjengkelkan Belanda dengan sikap kerasnya. Bahkan suatu ketika, Gubernur Jendral Belanda pernah dibuatnya lari terbirit-birit dalam sebuah insiden di Semarang, saat Kangjeng Kiai menghunus pusakanya yang bernama “Se Cingkrung”.

Info yang membungkus adu domba tersebut lantas membuat Sultan Abdurrahman Sumenep murka. Sehingga Sumenep pun ikut bergabung dalam perang melawan Diponegoro sekaligus Suroadimenggolo V. Meski di kemudian hari, justru dalam pertemuan empat mata antara Sultan Sumenep dan Diponegoro di sebuah goa, politik adu domba Belanda terkuak.

“Padahal perang sudah berlangsung 19 bulan,” tambah Haji Nono.

Nah, selepas itu Diponegoro menyatakan menyerah pada Sumenep. Beliau lantas ikut Sultan Abdurrahman ke Sumenep.

“Jadi menurut guru-guru sejarah ‘Sekolah Pergoeroean Noesantara’ di Sumenep, Diponegoro itu tidak pernah ditangkap Belanda. Namun mendapat suaka dari Sultan Sumenep. Kisah itu membantah info Belanda, bahwa kompeni berhasil menangkap Diponegoro dan menawannya di Sumenep,” tegas Haji Nono.

Nah, ketika tahu bahwa Diponegoro ada di Sumenep, Belanda pun memburunya. Namun keberadaan Diponegoro selalu disembunyikan oleh keluarga keraton Sumenep. Bahkan rakyat pun selalu membohongi mata-mata kolonial.

“Sosok Diponegoro yang berwibawa dan luas ilmunya ternyata mendapat simpati juga dari rakyat Sumenep. Apalagi diketahui bahwa Diponegoro juga besanan dengan Sultan Sumenep,” jelas Haji Nono.

Sehingga keberadaan Diponegoro di Sumenep sejak saat itu betul-betul dirahasiakan. Khususnya oleh keluarga keraton yang tahu mengenai hal tersebut. Meski Belanda tahu Diponegoro ada di Sumenep, namun tidak pernah bisa mendapatkan bukti maupun sosok yang dicari.

“Sampai kemudian, datang permintaan agar Diponegoro dibuang ke Makassar, maka Sultan Sumenep mengirim seorang pembantunya yang sekaligus santri Diponegoro, dengan didandani sebagai Diponegoro. Belanda percaya, karena sejatinya mereka tidak pernah bertemu Diponegoro secara langsung selama sang pangeran memimpin perang Jawa yang berdurasi lima tahun itu,” tutup H. Nono.

(Tulisan ini pernah dimuat di matamaduranews.com edisi 18 Desember 2019)

MM/Ng

Posting Komentar

0 Komentar