Arosbaya Berdarah, dan Kisah Gugurnya Ulama Madura

Ilustrasi pertempuran di Arosbaya (Mishandeling Te Arosabaia). (Sumber: Istimewa)


Ngoser.ID – Proses Islamisasi di Madura tidak bisa lepas dari peran serta anak cucu Wali Sanga. Meski tidak lantas melibatkan anak-cucu setiap anggota Waliyullah Akbar tanah Jawa tersebut. Namun mengingat masih dekat hubungan kefamilian para wali pembawa Islam dan Aswaja di negeri bernama Indonesia ini, maka mungkin tidak ada salahnya menyebut proses Islamisasi di Madura tak lepas dari campur tangan keluarga besar Wali Sanga.

Sunan Ampel misalnya, beliau masih bersaudara dengan Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri. Sehingga, di waktu kecil Penguasa Giri Kedaton itu mengaji ke Ampel. Tak hanya sebagai santri sang paman, setelah dewasa, Sunan Giri diambil sebagai menantu. Dinikahkan dengan Syarifah Murtasiyyah binti Sunan Ampel.

Sunan Ampel juga punya saudara tua bernama Sayyid Ali Murtadla (sebutan sayyid itu sama dengan syarif, kata tunggal bagi anggota keturunan Rasulullah SAW melalui Sayyidah Fathimah ‘alaihassalam). Sayyid Ali Murtadla atau yang dikenal juga dengan nama Raja Pandita itu, dalam satu versi berputra Sunan Ngudung atau Undung, ayah Sunan Kudus. Dalam catatan lain, Sunan Ngudung adalah putra Khalifah Husain.

Dalam catatan Jawa, ayahanda Sunan Ampel, Sayyid Ibrahim as-Samarqandi (Ibrahim Asmara), punya saudara laki-laki bernama Sayyid Ali Nurul Alam. Nurul Alam ini berputra Sayyid Abdullah Umdatuddin, ayahanda Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Dari garis ke atas lagi, leluhur Sunan Ampel bertemu lagi dengan leluhur Maulana Malik Ibrahim, Gresik. Keluarga besar ini bernasab pada dua cucu Rasulullah, Hasan dan Husain, melalui Sayyidatina Fathimah Az-Zahra dan Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah.

Kembali pada awal tulisan, Madura memiliki beberapa ulama besar yang bersusur galur pada Sunan Ampel pada umumnya, dan anggota Wali Sanga di Jawa Timur dan Tengah pada khususnya.

Di ujung timur Pulau Garam, ada Sunan Paddusan, cucu Raja Pandita. Setelahnya ada Sayyid Ahmad Baidlawi alias Pangeran Katandur, cucu Sunan Kudus. Di Madura Barat ada Sayyid Zainal Abidin alias Sunan Cendana, cicit Sunan Drajat bin Sunan Ampel. Selain juga Pangeran Khathib Mantu, dari keluarga Giri Kedaton; dan Pangeran Musyarrif, yang dalam satu versi adalah cicit dari saudara laki-laki Sunan Ampel lainnya. Nama terakhir yang disebut sekaligus juga tokoh sentral Jejak Ulama edisi kali ini.

Asal-Usul

Seperti disebut di muka, Pangeran Musyarrif masih terhitung cicit Sunan Ampel. Buyutnya, Syarif Ahmad ialah adik kandung Sunan Ampel. Asal-usul Pangeran Musyarrif ini ditulis secara rinci oleh Sejarahwan Madura legendaris, Kangjeng R. Tumenggung Ario Zainalfattah Notoadikusumo, dalam sebuah bukunya, “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja” (1952), halaman 137-138.

Syarif Ahmad disebut Zainalfattah sebagai salah satu anak Sayyid Ibrahim Asmara yang belakangan hijrah dari Kamboja ke tanah Jawa, atau Surabaya pada tepatnya. Syarif Ahmad ini berputra Syarif Hafie, ayah dari Syarif Muhammad Juhariya. Syarif Juhariya ini berputra Syarif Abdurrahman (Zainalfattah menulis Syarif Ahmad al-Husaini), yang di kemudian hari bergelar Pangeran Musyarrif.

Pasarean Pangeran Musyarrif di Arosbaya. (Foto: Istimewa) 
 

Kedatangan Syarif Abdurrahman atau Ahmad bin Juhariya ini diperkirakan di masa pemerintahan Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Duwur di Madura Barat. Meski ada versi lain menyebut sudah tiba di ujung barat Madura di masa Kiai Pragalba, pendahulu sekaligus ayah Lemah Duwur.

Kiai Pragalba dan rakyatnya, konon masih belum memeluk Islam. Sejarah di sana mencatat sang Patih, Bageno yang sakti mandraguna itu sebagai muslim pertama, setelah diutus Pragalba “nyantri” ke Sunan Kudus. Islam mulai menjadi agama resmi keraton di masa Panembahan Lemah Duwur. Gelar Panembahan menjadi penanda bagi penguasa Islam di Madura-Jawa.

Nah, kedatangan Syarif Abdurrahman kemungkinan tercium oleh penguasa Arosbaya itu. Beberapa kisah menyebut kedatangan itu tercium lewat beberapa karomah Syarif Abdurrahman. Singkat kisah, sang Syarif begitu menarik bagi raja, sehingga lantas diambil sebagai anak menantu. Dinikahkan dengan Mas Ayu Ireng, salah satu putri Panembahan dari selirnya. Dari pernikahan itu, lahirnya Syarif Kafi yang meninggal di Philipina, meninggalkan seorang anak laki-laki di Arosbaya yang dikenal dengan Raden Masegit.

Setelah diambil sebagai menantu, Syarif Abdurrahman mendapat gelar pangeran. Orang Arosbaya lantas menyebut beliau dengan Pangeran Musyarrif. Karena kealimannya, Pangeran Musyarrif diangkat sebagai Qadli atau Penghulu Negara. Kehadirannya laksana oase sekaligus cahaya bagi rakyat Arosbaya yang masih buta akan Islam, sekaligus haus akan keilmuan.

Gugur Sebagai Syahid

Panembahan Lemah Duwur mangkat pada 1592 M. Tampuk pemerintahan jatuh pada Raden Koro alias Pangeran Tengah, salah satu putra Panembahan dari permaisurinya, putri dari Jaka Tingkir, Sultan Pajang.

Di masa inilah tercatat kontak fisik pertama orang Madura Barat dengan kolonial Belanda. Kontak fisik yang merenggut nyawa Pangeran Musyarrif dan Kiai Ronggo, Patih Arosbaya.

Kisahnya dimulai pada sebuah penghujung 1596 M. Tepatnya tanggal 6 Desember, datanglah 4 kapal Belanda ke Arosbaya dengan tujuan berdagang. Belanda lantas mengirim kurir yang membawa undangan kepada penguasa Arosbaya. Pangeran Tengah lantas mengutus saudara iparnya Pangeran Musyarrif dan Patih Ronggo untuk memenuhi undangan.

Nahas, Pangeran Musyarrif dan Kiai Ronggo masuk pada salah satu kapal yang sebelumnya pernah dirampok di Sidayu. Semestinya, kedua pembesar Arosbaya itu masuk pada salah satu kapal yang tertera di undangan. Begitu sampai di kapal, tiba-tiba, Pangeran Musyarrif dan Kiai Ronggo diserang dengan berbagai senjata api. Sempat terjadi duel sengit, namun karena rombongan Arosbaya sangat sedikit jumlahnya akhirnya bisa dikalahkan, dan Pangeran Musyarrif beserta Kiai Ronggo gugur.

Peristiwa itu tentu melukai warga Arosbaya. Pemerintah Arosbaya lantas mengusir orang-orang asing itu. Dan mengumumkan menolak siapapun warga asing berlabuh di Arosbaya.

Seakan menganggap lupa, Belanda datang lagi pada Februari 1597 M. Namun justru hal itu harus dibayar mahal. Pasukan Arosbaya meluluh-lantakkan kaum kafir itu. Orang-orang Belanda banyak yang dibantai. Kapalnya disita, meski di kemudian hari dikembalikan. Kisah ini lantas tercatat dalam tinta emas sejarah Madura, sebagai aksi heroik pertama warga Pulau Garam mengusir penjajah, dengan Pangeran Musyarrif sebagai martir Madura yang pertama.

Ng

Posting Komentar

0 Komentar