Bindara Saot: Sabda Ratu dari Alam Rahim Ibu


Ngoser.ID
- Bindara Saut diperkirakan lahir di awal kurun 1700-an Masehi. Tidak ada petunjuk lisan maupun tulisan yang pasti mengenai hari, tanggal, maupun tahunnya. Meski dalam sebuah catatan di kalangan keturunannya yang ditulis lebih satu abad pasca wafatnya, Bindara Saot disebut lahir pada 1113 Hijriah, bertepatan dengan 1625 Jawa atau 1701 Masehi. Terlepas dari itu, kisah tutur mengatakan peristiwa sebelum kelahirannya yang kemudian dikenal, bahkan melegenda, sekaligus menjadi perbincangan dengan terus diceritakan turun-temurun.

Syahdan, di suatu waktu, Kiai Abdullah alias Entol Bungso di Batuampar Sumenep, memanggil isterinya yang bernama Nyai Nurima atau Narema. Saat itu Nyai Nurima tengah hamil tua.

Saat dipanggil, Nyai Nurima tengah shalat. Sehingga panggilan sang suami tak bisa dijawabnya. Setelah berkali-kali tak ada sahutan, tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang menjawab panggilan Entol Bungso, “ibu masih shalat, wahai ayah”.

Baca Juga: Kiai Entol Bungso, dan Jejak Dakwah ala Wali Songo

Sontak, Entol Bungso tertegun. Beliau mencari arah datangnya suara tersebut. Namun yang dijumpainya hanya sang isteri yang baru saja mengucapkan salam sehabis shalat. Lantas Entol Bungso bertanya pada Nyai Nurima.

“Siapa anak yang barusan menjawab panggilanku?”.

“Anak di dalam kandunganku, ini,” jawab Nyai Nurima, pasti.

Peristiwa tersebut yang konon menjadi latar belakang pemberian nama Saut. Karena sudah bisa menyahut sejak dalam kandungan. Sebuah karomah luar biasa, yaitu karunia kemuliaan dari Allah SWT pada seseorang sebelum ia bertaqwa. Lidah Madura lantas menyebutnya Saot. Sehingga putra Entol Bungso dengan Nyai Nairima itu dikenal dengan sebutan Bindara Saut atau Bindara Saot. Bindara adalah paduan kata arab bin (anak) dan bahasa setempat dara (tuan) atau doro dalam pelafalan Jawa.

Cungkup atau kubah makam Bindara Saot di Asta Tinggi Sumenep. (Foto/Ng)

Dalam sebuah naskah tulisan kuna berhuruf dan sekaligus berbahasa Arab, Bindara Saut ditulis dengan huruf shad, wawu, dan ta’. Dibaca Showtun, atau Showt, yang maknanya suara. Naskah kuna yang ditulis oleh salah satu anggota keluarga keraton pada kisaran paruh kedua abad 19 itu kini tersimpan di kampung Pangeran Le’nan, kelurahan Kepanjin, Kabupaten Sumenep.

Baca Juga: Setelah “Diusir”, Sosok Ini Menjadi Ulama Besar dan Leluhur Para Raja

Sebagian ahli sejarah di kalangan keluarga keraton menyandarkan nama Saot pada bahasa Madura. Namun sebagian lain mengatakan bahwa itu dari bahasa Arab, showt. Dan sebagian lagi mengatakan bahwa, Saot hanyalah gelar atau julukan saja. Dengan kata lain Saot atau Saut bukan nama daging.

Sejak kecil, konon Bindara Saut sudah banyak menampakkan keistimewaan atau kelebihan dibanding anak-anak sebayanya. Beliau juga dikenal sangat cerdas, dan mampu dengan cepat menangkap pelajaran gurunya.

Di usianya yang masih kecil, Bindara Saut dikirim oleh ayahnya ke Lembung (sekarang nama desa di wilayah Kecamatan Lenteng. Di sana Saut kecil mengaji di pesantren pamannya, yaitu Kiai Fakih atau Kiai Pekke, saudara kandung ibunya.

Kijing makam Bindara Saot. (Foto/Ng)

Suatu malam, di saat semua santri terbuai mimpi, Kiai Pekke yang biasa jaga malam melihat sebuah bintang jatuh dan masuk ke dalam bilik santri. Bintang itu menjelma cahaya dan jatuh tepat pada salah satu santri. Santri itu seperti terbakar dan menyilaukan, sehingga Kiai Pekke tak bisa mengenalinya. Lantas beliau memberi tanda pada kain sarung yang dikenakan santri itu dengan membakar ujungnya sedikit.

Keesokan hari, Kiai Pekke memeriksa para santri. Dan ternyata yang ada tanda di ujung sarungnya ialah Bindara Saut. Lalu Kiai Pekke bersabda, ”Ketahuilah, aku telah mendapat petunjuk bahwa kamu insya Allah akan menjadi Raja Sumenep hingga tujuh turunan.”

Bindara Saut menikah dengan Nyai Izzah, putri Kiai Jalaluddin dengan Nyai Galu. Nyai Galu, Kiai Pekke dan Nyai Nurima (ibu Bindara Saut), bersaudara kandung. Ketiganya adalah putra-putri Kiai Khathib Bangil, di Parongpong, Kecer, Dasuk.

Jodoh. Makam Bindara Saot berdampingan dengan isterinya, Ratu Tirtanegara (kiri). (Foto/Ng)

Jadi dengan demikian, antara Bindara Saut dengan Nyai Izzah masih bersaudara sepupu. Pernikahan ini membuahkan dua anak laki-laki, yaitu Baha’uddin dan adiknya, Asiruddin (dalam sebuah catatan ditulis Nashiruddin).

Baca Juga: Nyai Izzah, Isteri Bindara yang Melahirkan Raja

Sepeninggal Kiai Pekke, Bindara Saut menggantikan pamannya morok (mengajar). Salah satu kebiasaan Bindara Saut ialah sering keluar rumah dengan pakaian penyabit rumput, sambil membawa garunju (wadah rumput).

Hingga suatu saat datanglah utusan dari Keraton Sumenep dengan membawa pesan Ratu Rasmana. Saat itu Bindara Saut dengan busana penyabit rumput dan peralatannya dijumpai punggawa Keraton. Setelah menyampaikan maksud berupa undangan dari Ratu, Bindara Saut pun langsung bergegas ikut. Beliau memilih langsung berangkat tanpa mengganti pakaian dengan yang bagus atau pun membuang garunju-nya dalam perjalanan.

Salah satu ornamen di bagian atap cungkup makam Bindara Saot. (Foto/Ng)

Sesampainya di Keraton terjadilah kejadian yang tak lazim dalam sejarah mana pun. Seorang lelaki penyabit rumput dari Desa Lembung dipinang langsung oleh seorang ratu. Setelah Bindara Saut setuju, dilangsungkanlah akad nikah. Akad nikah yang membawa angina perubahan dalam sejarah Keraton Sumenep. Angin perubahan berupa masuknya pengaruh dan aroma pesantren dalam lingkaran feodalisme.

Selepas itu, dengan menikahnya Bindara Saut dengan Ratu Rasmana dilakukan pemindahan kekuasaan dari isteri ke suami. Bindara Saut ditabalkan sebagai raja (adipati) Sumenep dengan gelar  Tumenggung Tirtonegoro pada tahun 1750 Masehi.

Dengan Ratu Rasmana, Bindara Saut tidak memiliki keturunan. Sehingga dengan permintaan Ratu, kedua putra Bindara Saut di Lembung didatangkan ke Keraton. Sang Ratu berkenan mengeluarkan wasiat resmi agar putra termuda, Asiruddin diangkat sebagai raja sepeninggal ayahnya. Asiruddin naik tahta pada 1762 Masehi dengan gelar Panembahan Notokusumo. Beliau juga lebih dikenal dengan nama Panembahan Sumolo atau Somala, karena beliaulah yang mula-mula memakai gelar panembahan. Sebelumnya, penguasa Sumenep hanya bergelar Pangeran atau Tumenggung saja.

Baca Juga: Asiruddin, Panembahan Sumenep Pertama

Bindara Saut dan Panembahan Sumolo membuka kran sistem dan tradisi baru. Di mana waktu itu di Sumenep geliat religi begitu kental. Pemerintah lebih banyak melibatkan unsur-unsur pesantren dalam tata pemerintahan. Simbol-simbol perangkat Keraton juga lebih kental dengan nuansa Islami. Ghirah memperdalam ilmu agama juga menjadi tradisi putra-putra raja.

Posting Komentar

0 Komentar